![]() |
SEGAR ; semangkuk soto khas Kudus berisikan nasi putih, potongan daging kerbau, tauge, irisan kol, daun seledri dan kucai. Kemudian disiram dengan kuah kaldu daging kerbau yang hangat. |
Dari daratan Tiongkok
yang bergejolak, para imigran membawa soto melintas benua. Cerita yang panjang.
Jarak budaya dan geografi yang terlampau jauh untuk ditelusuri menjelma dalam
semangkuk soto.
Siapa menyangka, soto
telah menjadi identitas kuliner sebuah daerah. Satu soto beragam variasi.
Apapun bentuk dan sebutan, soto tetaplah soto. Dijajakan pikulan pada puluhan
tahun silam, sekarang soto menempati warung dan ruko yang mapan.
Aroma dan
kelezatannya telah mencapai mancanegara. Bagaimanapun, jejak-jejak budaya telah
mengantarkan soto menjadi kuliner yang khas.
Warisan China ini
disinggung oleh Indonesianis, Dennys
Lombard yang menyebut asal muasal soto dari daratan Tiongkok
dengan kata asli Caudo. Hidangan berkuah yang disajikan di
perabotan keramik ini
pertama dikenal di Semarang. Caudo lambat laun menjadi
soto. Orang Makassar menyebut Coto, sementara
orang Pekalongan menyebutnya
Tauto.
Soto memang serba China. Dari penyajian yang
mengandalkan perabotan hingga bumbu utamanya dan taburannya yakni bawang putih.
Di kedai-kedai masakan Tionghoa, bawang putih adalah unsur utama. Tidak
berlebihan bila soto ini disebut produk migrasi kuliner yang telah lepas dari
konteks zamannya. Soto telah melintasi zaman.
Kuliner hadir dengan
modifikasi, menyesuaikan lidah dan selera masyarakat lokal hingga jadilah
hidangan soto seperti yang kita nikmati hari ini. Soto Kudus menjadi salah satu kuliner ikonik
kota berjuluk “Yerussalem Van Java” ini, yang mempunyai cita rasa khas lidah
lokal nusantara.
Geriliya Juragan Soto
Peran para juragan soto sebagai medioker
peradaban kuliner soto. Tanpa geriliyanya dan ketabahannya berjualan tanpa alas
kaki dan berkeliling di sekitar Kudus, saat ini mungkin soto ini tinggal cerita
dan jadi makanan yang terpinggirkan.
Soto Ramidjan, terletak di
Jalan Raya Kudus-Jepara No 79
A atau
sebelah Pasar Jember. Letaknya yang strategis menjadikannya mudah dijangkau
dari kedua arah. Semerbak harum kuah
soto ini
pun langsung tercium, saat memasuki warung. Durasi operasional warung mulai pukul 06.00 sampai
20.30 WIB.
Sudah tiga dekade, dinasti soto Ramidjan ini mewarnai wajah
kuliner Kudus. “Sebelum buka di Jember, Pak Ramidjan membuka warung soto di Terminal
Mal Matahari. Pada waktu yang bersamaan, juga
mempunyai cabang di sekitar alun-alun Simpang Tujuh (Sekarang pindah ke Taman Bojana) dengan nama warung soto Bu Ramidjan,”
ungkap Ferry Roosmawan (39), cucu
Ramidjan yang mewarisi warung
soto saat ini.
Sambil sesekali memainkan
ponselnya, Ferry melanjutkan ceritanya, soto
khas Kudus berbahan pokok daging kerbau, dengan isian nasi putih,
tauge, kucai, daun seledri. Kemudian disiram kuah kaldu daging kerbau yang
bening, dan juga dilengkapi dengan taburan bawang goreng, yang membuat rasanya
semakin kental.
Orang Padang mengatakan lamak rasanyo, meskipun tidak
menggunakan santan. Sehingga menjadi daya tarik sendiri oleh para pembeli yang
mampir ke warung bercat hijau dengan perpaduan kuning tersebut. Yang menjadikan
soto ini berbeda dari daerah lain seperti Soto Betawi dan Soto Lamongan adalah kuahnya yang bening, karena tanpa
menggunakan santan. “Orang zaman sekarang
enggan dengan makanan yang berkuah kental, yang mengandung banyak lemak,” tukasnya.
Di Kudus, tidak hanya Ramidjan. Ada juga Denuh
yang memulai usaha sejak masa penjajahan Jepang. Taram (66), anak Denuh
yang ke-6 dari 15 bersaudara, merupakan
penerus usaha warung
Soto Pak Denuh yang sekarang. Menu Soto
Kudus yang dijual di warungnya saat ini dimasak dengan cara yang berbeda, yakni
kuah soto dibuat agak bening.
“Dulu, masakan soto berkuah kental sangat digemari, karena
lidah merasakan enak karena lemak yang kental.
Namun karena
tren sekarang banyak orang yang takut lemak, kuah soto
dibuat agak bening,” ujar pemilik warung di Jalan AKBP Agil Kusumadya ini.
Taram menambahkan, bahan-bahan yang digunakan untuk Soto Kudus sebenarnya sama dengan soto lainnya.
Tidak ada resep khusus, karena yang membuat cita rasa suatu masakan itu berbeda
adalah tergantung kokinya. Ada istilah “lain koki lain masakan”.
Penggemar soto Kudus pun
tidak datang dari masyarakat lokal Kudus saja, banyak pejabat-pejabat dari
tingkat provinsi sampai pusat yang selalu menyempatkan makan soto setiap kali
berkunjung ke Kudus. “Pernah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo bertandang ke sini, dan mencicipi segarnya
Soto Kudus di siang hari,” jelas pensiun PNS ini, dengan gelak tawa yang khas,
sembari memperlihatkan foto-foto yang dipajang di dinding warungnya.
Lain halnya dengan warung
soto Pak Di yang mempertahankan kentalnya rasa melalui kuah kaldunya. Warung
yang buka mulai pukul 16.00 sampai 21.00 di Pasar Kliwon ini memiliki resep
soto dengan kuah yang agak kental. Karena dengan begitu, daging kerbau menjadi
lebih empuk.
Soto Kudus Pak Di tak
kalah mentereng dengan yang lainnya,
meskipun tempatnya begitu sederhana. Hanya sebuah tenda semi permanen di
teras Pasar Kliwon. Warung ini sering kali diliput media cetak lokal maupun
nasional, suara merdeka, jawa pos, kompas hingga beberapa media elektronik.
Pelanggan yang sering bertandang ke sini pun beragam, mulai dari kelas menengah
ke atas, artis, hingga pejabat kabupaten.
“Soto Kerbau Pak Di mampu
membuat ketagihan para penggemarnya, dan terkadang menjadi nostalgia para
perantau yang berasal dari Kudus. Selain beberapa turis Australia yang dulu
pernah ketagihan sampai nambah tiga porsi,” tutur Siti Aminah
Muslih (53), pemilik warung soto
kerbau Pak Di saat ini.
Aminah melanjutkan
ceritanya, ketenaran warung soto Pak Di ini tak luput dari pasang surut.
Sejarah Soto Kerbau Pak Di bermula dari warisan dan kerja keras leluhurnya, yang sampai saat ini sudah diturunkan ke generasi
keempat. Dulu, di era penjajahan Jepang, rintisan soto kerbau ini sudah ada.
Namun belum seperti sekarang yang sudah mempunyai warung tetap. “Istilah zaman
dulu itu mbabat alas. Mbah buyut berjualan soto dengan menggunakan
pikulan. Berkeliling tanpa lelah mulai dari pasar kliwon, sampai daerah pentol.”
“Mengenai resep masakan,
sebenarnya tidak ada yang berbeda. Bumbu utama dibuat dari bawang merah, bawang
putih dan merica,” ungkap wanita yang terkenal ramah dengan pelaggannya ini.
Adapun cara penyajiannya
pun sama, dengan menggunakan mangkuk kecil yang khas berisikan nasi putih,
kecambah, irisan kol, daun seledri dan potongan daging kerbau yang kemudian
disiram kuah kaldu kental yang hangat.
Strategi penjualan yang
merupakan wejangan dari Mbah Di pun masih dijalankan, yaitu dengan resep
masakan yang turun temurun. Selain itu, kuota penjualan pun diatur sesuai
dengan waktunya.
“Bulan Apit (baca :
Dzulqo’dah) biasanya agak sepi, kata Mbah Di, titenono nek wayah duren lan
ace (rambutan), penggean seret. Dadi kurangi porsi daganganmu,” ungkap Ibu
tiga anak ini.
Setiap warung soto memiliki pelanggan
masing-masing. Persaingan ketat dan sehat tercipta dengan sendirinya.
Karso Karsi, yang sudah
mulai berjualan soto pada tahun 1940an berusaha keras untuk mempertahankan cita rasa
soto dengan menggunakan kayu bakar dalam memasak kuah.
“Bapak Karso Karsi saat
itu menjual soto dengan cara berkeliling kampung menggunakan pikulan. Baru
mulai tahun 1950an, beliau mendirikan warung di desa Jati Kulon tepatnya di
depan kantor PLN Kudus,” terang Nanik Cahayani (43), penerus Karso Karsi.
Warung soto ini sedikit
unik dibanding lainnya, di
mana
dalam proses memasaknya masih menggunankan kayu bakar. “Hal ini karena api kayu
bakar awet panansnya,” imbuh wanita yang mulai meneruskan usaha Karso Karsi sejak tahun 2000.
Tentang pelanggan, alumnus
Fakultas ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini punya cerita
unik.
“Banyak pembeli yang belum
pernah mencoba soto kerbau, awalnya tidak mau setelah mencoba lalu ketagihan.
Mereka membayangkan hewan kerbau yang besar hitam dan kotor, pasti dagingnya alot.”
Sabda Kultural
Soto Kudus menjadi daya tarik
tersendiri. Hal itu
mengingat ketika daging kerbau menjadi konsumsi mayoritas wong Kudus.
Kekhasannya dikenang hingga menjadi ikonik kota. Berbicara soal kuliner dengan
bahan baku daging kerbau di Kudus, tentunya ada sederet cerita yang mengekor
dibelakangnya. Hadirnya kuliner soto kerbau tidak serta merta hadir begitu
saja. Seperti penggalan puisi ini.
Maka bila berkunjung ke
kota kami
Jangan kalian cari kuliner
daging sapi
Sebab bagi saudara kami
sapi adalah hewan suci
Sebab sang terpilih pernah
berfatwa
“untuk menenggang rasa
saudaramu
Jangan sekalipun kau
menyembelih lembu !”
Serentak kami mengamini
tanpa ragu
(Quds, Itulah Nama Kota kami-Mukti
Sutarman Espe)
Pemilihan daging kerbau menggambarkan toleransi
antar pemeluk agama di Kudus, utamanya Islam dan Hindu. Karena dilatarbelakangi sabda toleransi Sunan Kudus
yang melarang menyembelih sapi, sebagai wujud menghormati orang Hindu. “Sabda toleransi ini awalnya
muncul karena masa itu masyarakat Kudus mayoritas beragama Hindu, yang
menganggap sapi sebagai hewan suci yang dihormati,” tutur Zamhuri, pemerhati sosial dan budaya di Kudus.
Larangan ini menjadi
semacam kultur yang diwariskan turun temurun, yang kemudian dikreasikan oleh
masyarakat dalam suguhan kuliner. Selain kuliner sate kerbau dan pindang kerbau
yang juga terinspirasi dari sabda wali yang berjuluk Waliyul Ilmi itu.
Penggunaan daging kerbau merupakan warisan toleransi yang diajarkan, bukan
murni kreasi kanjeng sunan. “Warisan tersebut
menjadi semacam kultur yang pantang untuk dilanggar. Sudah menjadi sistem
keyakinan begitu,” imbuhnya.[]
Qurrotu
A’yun dan Khoirul Anas