Oleh: Nur Khariroh (2430310015)
*****
“Apa yang kamu cari di luar dirimu telah berada dalam dirimu. Mengapa kamu terus mencarinya di luar?”
_Jalaluddin Rumi_
*****
Di tengah hiruk-pikuk roda kehidupan yang riuh oleh arus digitalisasi, manusia justru kerap mengeluh tentang kesepian.[1] Hal ini memicu mereka untuk mencari sesuatu yang dirasa mampu mengisi kekosongan batin tersebut. Dan saat merasa telah menemukan jawabannya, mereka terpacu untuk meraih sebuah kepuasan, bahkan terkadang sampai memohon-mohon dengan segala cara demi mendapatkan apa yang mereka yakini sebagai sumber pengisi kekosongan dalam diri. Terdengar sedikit tidak etis mungkin, namun itulah fenomena yang kerap kali terjadi, entah tidak disadari, atau justru karena mereka sendiri yang mencoba menampiknya. Dan hal tersebut menjadikan manusia terjebak dalam pencarian tak berujung, cinta sejati.[2]
Ironisnya, banyak yang mengira kekosongan batin bisa diisi oleh cinta dari orang lain, padahal cinta sejati berawal dari menghargai dan menerima diri sendiri. Erich Fromm dalam karyanya, The Art of Loving, mengemukakan bahwa cinta sejati harus dimulai dari cinta terhadap diri sendiri. Ia berpendapat bahwa kemampuan untuk mencintai orang lain hanya bisa dicapai jika seseorang telah mampu mencintai dirinya sendiri.[3] Gagasan ini telah marak di perbincangkan dan bahkan menjadi semacam “mantra” yang sering digaungkan di media massa. Dan dari dunia maya inilah, pengaruh terbesar hadir kepada kita—para penggunanya—dalam membentuk sudut pandang mengenai konsep mencintai diri sendiri.[4]
Dan acap kali, kita terjebak dalam definisi yang sempit, yakni sebatas penghargaan terhadap diri sendiri yang mengutamakan kebebasan individu dan kepuasan pribadi.[5] Akibatnya, muncul persepsi bahwa mencintai diri sendiri hanyalah bentuk dari narsisme atau keegoisan. Lebih parahnya lagi, mereka yang menghindari label tersebut sering kali memilih untuk mengorbankan kebutuhan diri demi menjaga citra baik di hadapan orang lain, bahkan merasa ragu untuk bersikap tegas karena takut disalahpahami.
Menurut pandangan Erich Fromm, mencintai diri sendiri bukanlah sekadar soal memanjakan diri atau egoisme, melainkan bentuk penghargaan yang mendalam terhadap diri sendiri. Dimana hal ini merupakan fondasi bagi kemampuan untuk mencintai orang lain.[6] Ia berpendapat bahwa mencintai diri sendiri sejatinya adalah bagian integral dari cinta sejati itu sendiri. Menurut American Psychological Association, mencintai diri sendiri merupakan sikap menghargai kesejahteraan dan kepuasan diri sendiri.[7] Sedangkan menurut Brain and Behavior Research Foundation, mencintai diri sendiri didefinisikan sebagai suatu penghargaan terhadap diri sendiri yang muncul dari tindakan-tindakan yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, dan spiritual.[8] Secara sederhana, mencintai diri sendiri dapat di artikan sebagai bentuk penghargaan, penerimaan, dan kasih sayang terhadap diri sendiri, secara utuh—tanpa syarat.
Namun, meski kita telah mencoba dan berusaha sebaik mungkin untuk mencintai diri kita apa adanya—tanpa syarat, terkadang masih saja, kita rasakan sebuah kekosongan yang mengganjal—sesuatu yang lebih dalam yang kita cari—yang tak kunjung juga kita ketahui apa itu. Dan tanpa kita sadari, hal inilah yang menjadi pemicu otak kita untuk berasumsi bahwasanya, kita itu tetap membutuhkan yang namanya sebuah pengakuan, perhatian, atau pujian dari orang lain untuk memenuhi kekosongan dan kehampaan tersebut.[9] Dan, ketika kita hanya bergantung pada pengakuan eksternal ini—untuk merasa bahwa sebenarnya kita itu berharga, maka disinilah kita telah lupa, bahwa hakikatnya, nilai sejati dari diri kita itu bukan ditentukan oleh penilaian orang lain, melainkan oleh cara kita melihat diri sendiri. Dan dititik ini, akan muncul pertanyaan dalam benak kita, lalu apa sebenarnya yang kita butuhkan untuk mencintai diri kita sendiri? Untuk mengisi kekosongan yang hampa itu?
Dalam hal ini, tasawuf hadir untuk memberikan penawar bagi kekosongan dan kehampaan yang kita alami tersebut. Di dalam ajaran tasawuf, kekosongan dan kehampaan yang dialami manusia sering kali di kaitkan dengan jauhnya seseorang dari hakikat diri dan hakikat penciptanya, Allah Swt. Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan dalam kitabnya, Futuh al-Ghaib bahwasanya kehampaan batin itu menandakan jika seseorang terlalu jauh dari Allah Swt. Baginya, manusia yang mengabaikan hubungan dengan Allah Swt. akan senantiasa merasa hampa, meskipun memiliki segala sesuatu di dunia.[10] Dan untuk mengatasi kehampaan yang mengganjal dalam diri kita, para ulama’ sufi telah meresepkan berbagai macam obat penawar, salah satunya adalah dengan melalui konsep mahabbah.
Di tengah bisingnya zaman digital, ketika perhatian tercerai-berai oleh notifikasi dan tuntutan eksistensi, mahabbah hadir sebagai jalan sunyi yang menuntun kita kembali pada ruang terdalam diri. Menurut Imam al-Ghazali, mahabbah atau kecintaan kepada Allah Swt. dan rasul-Nya adalah wajib. Hal ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil pasti.[11] Munculnya mahabbah ini diinspirasi oleh petunjuk-petunjuk al-Qur’an, antara lain QS al-Ma’idah: 54 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan QS Ali Imran: 30. yang artinya “(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakannya dihadirkan, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap seandainya ada jarak yang jauh antara dia dan hari itu. Allah memperingatkan kamu akan (siksa)-Nya. Allah Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya” kedua ayat ini menerangkan bahwa kecintaan kepada Allah Swt. adalah tujuan yang tertinggi dari maqamat yang dilalui oleh para sufi. Al-Kalabazi dalam karya yang berjudul at-Ta'arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, mahabbah dibagi menjadi dua jenis, yaitu cinta yang hanya diakui secara verbal, dan cinta yang dihayati dan diresapi dalam hati dan mengalir dari lubuk hati. Cinta yang pertama dimiliki oleh setiap individu, sedangkan cinta yang kedua hanya ditujukan kepada Allah Swt. Cinta seperti inilah yang dijalankan oleh para sufi.[12]
Menurut Margaret Smith, Rabi`ah dianggap sebagai sosok pertama yang mengungkapkan ajaran cinta tanpa pamrih kepada Allah Swt. dalam syair-syairnya, Robi’ah menyatakan dua macam pembagian cinta, sebagai puncak perjalanan spiritualnya dan dinilai telah mencapai tingkat tertinggi dalam cinta. Pembagian cinta tersebut, tertuang dalam lirik syairnya: “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta.Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugrah-Mu. Adapun cinta dari kerinduanku Menenggelamkan hati berzikir pada-Mu daripada selain Kamu. Adapun cinta yang dari anugrah-Mu Adalah anugrah-Mu membukakan tabir sehingga aku melihat wajah-Mu Tidak ada puji untuk ini dan untuk itu bagiku Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan untuk itu” (eit, refrens no. 8)
[1] Halaman Moeka. (2025, 1 Maret). Kesepian: Penyakit Sosial di Era Digital. Diakses dari https://www.halamanmoeka.com/artikel/kesepian-penyakit-sosial-di-era-digital
[2] Anjayani, D. K. (2025). Majas Metafora Pada Album “Menari Dengan Bayangan” Karya Hindia. Jurnal Zeugma, 1(1), 102-119.
[3] Erich Fromm, Seni Mencinta, terj. oleh Budiyanto (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 55–56
[4] “Self-Love di Era Digital: Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Persona Diri,” Kumparan, 4 Januari 2024, diakses 13 Mei 2025, https://kumparan.com/audri-aviarizky/self-love-di-era-digital-bagaimana-media-sosial-mempengaruhi-persona-diri-24HWqRPfLoX.
[5] Reni Nur, “Self-Love atau Selfish? Menemukan Batas Sehat dalam Mencintai Diri Sendiri,” PWM Jateng, 5 Januari 2024, diakses 13 Mei 2025, https://pwmjateng.com/self-love-atau-selfish-menemukan-batas-sehat-dalam-mencintai-diri-sendiri
[6] Erich Fromm, Seni Mencinta, terj. Budiyanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 55–56
[7] Wijaya, J. W. Self-Love Dictionary: Cara Sesungguhnya Mencintai Diri Sendiri. LAKSANA.
[8] Brain & Behavior Research Foundation, “Self-Love and What It Means,” diakses 30 April 2025, https://bbrfoundation.org/blog/self-love-and-what-it-means
[9] “Contingent Self-Esteem,” Wikipedia, terakhir diubah 29 April 2024, diakses 13 Mei 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Contingent_self-esteem
[10] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Futuh al-Ghaib, terj. oleh Muhammad Nuh (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 85
[11] Rif'ah, Zulfa Ni'matur. KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM KITAB BIDA> YAT AL-HIDA> YAH KARYA IMAM AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN MATERI AKHLAK DI MADRASAH ALIYAH. Diss. IAIN PONOROGO, 2023.
[12] Anggraeni, Lia, Ananda Nurzahra Wahidah, and Maftuh Ajmain. "MAHABBAH DALAM PERSEPEKTIF RABI'AH AL-ADAWIYAH." JUTEQ: JURNAL TEOLOGI & TAFSIR 2.4 (2025): 944-954.
[13] Rakhman, M. Z. (2025). Ibn'Arabi Tentang Cinta dan Agama. Garudhawaca.ss
Referensi
Erich Fromm, Seni Mencinta, terj. oleh Budiyanto (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 55–56
Wijaya, J. W. Self-Love Dictionary: Cara Sesungguhnya Mencintai Diri Sendiri. LAKSANA.
Brain & Behavior Research Foundation, “Self-Love and What It Means,” diakses 30 April 2025, https://bbrfoundation.org/blog/self-love-and-what-it-means
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Futuh al-Ghaib, terj. oleh Muhammad Nuh (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 85
Anggraeni, L., Wahidah, A. N., & Ajmain, M. (2025). MAHABBAH DALAM PERSEPEKTIF RABI'AH AL-ADAWIYAH. JUTEQ: JURNAL TEOLOGI & TAFSIR, 2(4), 944-954.