Oleh: Annisa Kamalia Rohmah (2430310012) dan Alif Nur Rahmatia (2430310010)
Di era modern yang serba cepat ini, hidup seolah tak pernah memberi jeda. Notifikasi terus berdenting, media sosial memamerkan kebahagiaan seakan tanpa cela, dan tekanan hidup diam-diam menyedot ketenangan jiwa. Tak jarang, kita pun merasa kosong ,kehilangan arah di Tengah keramaian dunia. Namun, dalam kesunyian yang paling dalam,terdengar lantunan lembut yang menggetarkan hati yaitu shalawat.
Shalawat bukan hanya lantunan doa dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan ungkapan cinta, rindu, dan harapan yang tidak terucapkan. Ketika seseorang mengucapkan Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad, sebenarnya ia sedang memanggil kembali sosok yang begitu dicintainya ke dalam kesadarannya, menciptakan ruang batin yang penuh damai. Dalam keheningan itu, shalawat mengalir seperti air, membawa kedamaian yang sulit ditemukan di luar sana.[1]
Ketenangan jiwa bukan berarti hidup tanpa masalah, tapi kemampuan untuk tetap tenang di tengah berbagai kesulitan. Para tokoh spiritual Islam memahami hal ini dengan sangat mendalam.
Imam Al-Ghazali menyebut ketenangan sebagai hasil dari sabar dan Syukur, saat seseorang tidak lagi dikuasai oleh nafsu dan mampu menyerahkan segalanya kepada Allah.
Al-Qusyairi menghubungkannya dengan tawakal: sebuah kepasrahan sepenuhnya kepada Tuhan yang justru menghadirkan sifat damai
Seorang psikolog Muslim, Zakiyah Daradjat, menyatakan bahwa untuk mendapatkan ketenangan jiwa, keseimbangan emosi, hubungan sosial yang sehat, dan harmoni fisik dan spiritual sangat penting.
Semua ini menunjukkan bahwa ketenangan adalah hasil dari proses batin yang dalam, bukan hanya datang begitu saja. Dan menariknya, shalawat mungkin menjadi salah satu cara untuk mencapainya.[1]
Penelitian pun menguatkan hal ini:
Miftahul Jannah (2022) lantunan shalawat Simtudduror di pesantren dapat menenangkan santri yang mengalami tekanan batin.
Fauziah (2022) menunjukkan bahwa rutin bershalawat dapat mengurangi stres dan menghadirkan rasa tenteram.
Khoirul Anwar (2022) mengungkapkan bahwa majelis shalawat merupakan tempat berkumpul untuk penyembuhan, di mana individu merasakan kehadiran spiritual Nabi ketika merindukan-Nya dengan sangat.
Bahkan di Batam dan Lampung, terapi musik shalawat telah terbukti mampu menurunkan kecemasan, baik pada orang tua maupun kalangan muda.
Dalam praktik tasawuf, shalawat dianggap sebagai ungkapan cinta, sebuah nyanyian yang membersihkan hati, menghaluskan jiwa, dan membawa individu menuju kedudukan-kedudukan spiritual: mahabbah (cinta), khauf (ketakutan), raja’ (asa), hingga ridha (penerimaan).
Perhatikan bagaimana komunitas-komunitas shalawat berkembang di berbagai sudut negara ini:
Majelis Rasulullah SAW di Jakarta,
Syubbanul Muslimin di Probolinggo,
Az-Zahir di Pekalongan,
Ar-Rohmah di Batam,
dan Rosho di Samarinda.
Banyaknya orang hadir, melantunkan shalawat dengan tangisan yang tak tertahan, tanpa memedulikan jabatan, tanpa mempertimbangkan status. Yang ada hanyalah kasih kepada Rasulullah, dan rasa rindu akan ketenangan yang hakiki. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin gaduh, mereka memilih jalur yang tenang dan menentramkan.[1]
Shalawat memang sederhana, tapi menyentuh begitu dalam. Ia tidak menjamin hidup bebas dari kesulitan, tetapi memberdayakan jiwa untuk tetap tegar saat cobaan tiba. Ia tidak membutuhkan tempat yang megah, hanya hati yang mau menerima dan niat yang tulus.Untuk siapa pun yang sedang lelah, gelisah, atau merasa jauh dari Allah, cobalah melangkah di jalan ini. Lantunkan shalawat dengan perlahan. Biarkan ia meresap, menyusup pelan-pelan ke dalam hatimu. Mungkin di tempat tersebut, di bagian tenang dalam dirimu, ketentraman yang selama ini kau inginkan sudah lama menanti.[1]
Referensi
Jannah Miftahul, Dampak Sholawat Simtudduror terhadap Ketenangan Jiwa pada Jama’ah Pondok Pesantren Daarul Ishlah, Skripsi UIN Raden Intan Lampung, 2022.
Fauziah Irma, Peran Shalawat untuk Memperoleh Ketenangan Jiwa, Skripsi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2022.
Anwar Khoirul, “Menghadirkan ‘Nabi’: Antara Hasrat dan Cinta dalam Ritus Shalawat Bersama,” Trilogi: Jurnal Ilmu Sosial dan Humanior, 3(1) (2022): 40–52.
Daradjat Zakiyah, Ilmu Kesehatan Mental, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
[1]Miftahul Jannah, Dampak Sholawat Simtudduror terhadap Ketenangan Jiwa pada Jama’ah Pondok Pesantren Daarul Ishlah, Skripsi UIN Raden Intan Lampung, 2022.