Best Viral Premium Blogger Templates

Sinetron dan Tanggung Jawab Moral Media Indonesia

parist  id
Jumat, Juni 04, 2021 | 07:14 WIB
DI BAWAH UMUR: Pemeran Zahra (15 tahun) bersama pemeran lainnya dalam sinetron Suara Hati Istri Zahra yang tayang di Indosiar. (Foto: dok. Instagram Panji Saputra)


Belakangan ini dunia maya sedang ramai perdebatan para warganet terhadap sinetron yang ditayangkan oleh salah satu media ternama di Indonesia. Sinetron yang mengisahkan tentang seorang gadis bernama Zahra berusia di bawah umur (15 tahun) yang terpaksa menikah dengan pria berumur 39 tahun dan beristri dua.

Sempat menjadi tranding topik di twitter dengan tagar Suara Hati Istri Zahra pada 1 Juni 2021, tayangan ini pun menuai banyak hujatan dari warganet. Sinetron bertajuk Suara Hati Istri - Zahra yang ditayangkan stasiun TV Indosiar ini seakan memberikan tontonan kepada publik praktik pedofilia, pelecehan seksual, penurunan martabat perempuan, perkawinan anak, dan sebagainya. Dengan dibalut maskulinitas dari sang suami, seolah-olah mempertontonan bahwa laki-laki bisa bertindak apa saja, dan itu diwajarkan.

Belum lagi, konflik memperebutkan suami yang didukung oleh mertua yang bersifat antagonis, seakan semakin menunjukkan perempuan tidak bisa apa-apa dan selalu bergantung pada laki-laki. Hal ini juga didukung oleh pemeran Zahra yang selalu lemah dan tidak berdaya, mengajarkan bahwa sesama perempuan tidak bisa akur, saling menjatuhkan, dan tidak mampu melakukan perlawanan dan membela diri.

Selain itu, yang menjadi polemik dan penuaian banyak kontra dari masyarakat adalah penayangan adegan seksualitas yang dibalut sinetron. Penayangan adegan dewasa semacam perciuman, belaian, dan sentuhan yang dilakukan suami kepada Zahra. Tayangan ini seperti mengajarkan masyarakat bahwa menikahi perempuan di bawah umur itu diperbolehkan, bahwa perempuan itu hanya difungsikan untuk memproduksi anak, pun melakukan adegan dewasa di atas ranjang.


Menunggu Aduan

Lagi-lagi, tayangan seperti ini memperburuk citra masyarakat terhadap sinetron. Ketika media sudah tidak bisa menghadirkan tayangan yang berkualitas, sinetron seperti inilah yang menjadi konsumsi publik. Padahal, sudah banyak tokoh publik dan media masa yang menyoroti sinetron ini. Jika ditarik benang merah, mereka mempertanyakan dimana posisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyoroti sinetron ini?

Banyak warganet yang menyebut sinetron ini sebagai normalisasi pedofilia (minat seksual terhadap anak – red). Mengutip dari cnnindonesia.com, setelah mendapat aduan dari warganet, pihak KPI menyatakan akan mengganti pemeran Zahra. Disebutkan, pihak KPI akan mengevaluasi muatan materi atau cerita dan menyesuaikan peran dengan umur sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).


Menanyakan Identitas

Masyarakat sudah bosan dengan tayangan sinetron yang dianggap tak bermutu ini, bagaimana tidak, dalam beberapa tahun terakhir, tayangan serial seperti ini seakan memperbodoh masyarakat. Mulai dari sinetron adzab yang dinilai tak masuk akal, sinetron pelakor yang selalu dinyanyikan netizen lewat liriknya ku menangis. Terakhir, sinetron Zahra yang menormalisasikan pedofilia. Lantas, bagaimana tujuan KPI menayangkan sinetron-sinetron tersebut? Apa hanya untuk mencari rating yang bagus atau untuk tujuan komersial belaka?

Sinetron memang sering menuai pro dan kontra dari masyarakat. Tayangan yang dimaksudkan sebagai hiburan ini sering mendapat kritik negatif karena ketidaksesuaiannya dengan kehidupan nyata, bahkan minim nilai moril yang disisipkan.

Sejatinya, fungsi KPI adalah sebagai pengawas sekaligus penyorot/pemfilter tayangan-tayangan siaran televisi di Indonesia. Namun, melihat tayangan yang ada saat ini, banyak yang mempertanyakan apakah pihak KPI sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik atau belum. Kendati demikian, ada pula yang mewajarkan tontonan yang beredar. Dan menyalahkan masyarakat dengan dalih “Kalau tidak suka ya jangan nonton, pindah chanel aja”. Padahal sudah selayaknya tugas KPI adalah menyaring tayangan yang berkualitas untuk masyarakat. Dengan begitu, tidak akan ada lagi saling menghujat atau menyalahkan.

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini akan tercapai manakala semua pihak bersinergi dengan baik di masing-masing bidangnya. Begitupun dengan KPI yang bertugas menghadirkan tayangan-tayangan berkualitas untuk anak-anak bangsa. Bagaimanapun juga, tontonan yang dihadirkan juga harus menjadi tuntunan. Salah satu cara nyata mencerdaskan anak bangsa adalah dengan memberikan edukasi lewat tayangan di televisi, memberikan tontonan yang mencerminkan karakter bangsa, membuat konten yang kreatif dan edukatif, sesuai dengan batasan usia dan jam tayang, tontonan yang mendidik, serta mengurangi intensitas tayangan seperti sinetron dan drama FTV. 

Di sisi lain, masyarakat juga berperan besar. Bagaimana melakukan pengawasan terhadap KPI dan tayangan-tayangan yang tidak mendidik. Termasuk memberikan edukasi kepada anggota keluarga, anak, dan memilih tontonan yang berkualitas. Kuncinya adalah bersinergi, baik itu pemerintah, pihak yang bersangkutan, masyarakat, termasuk kita saling mengingatkan. Agar tidak ada lagi sinetron-sinetron semacam ini. Pun berusaha untuk menciptakan tontonan yang cerdas, edukatif, dan positif. Sehingga tayangan di televisi tidak hanya sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan untuk masyarakat Indonesia, semoga.

*) Hasyim Asnawi

Penulis merupakan Mahasiswa PGMI Semester Akhir


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sinetron dan Tanggung Jawab Moral Media Indonesia

Trending Now