Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger Templates

Pohon Abadi yang Menjadi Pagar Gunung Hutan Muria

parist  id
Sabtu, Juli 09, 2022 | 20:21 WIB

 

Salah satu jenis flora endemik di Gunung Muria yaitu pohon pranak. Foto : (Mirna/Paradigma) 

Berbicara mengenai flora endemik di kawasan Muria, banyak masyarakat setempat yang mengklaim bahwa beberapa jenis tumbuhan di sana adalah endemik. Hal itu sulit terbantahkan karena mereka menggunakan cara itu untuk menarik perhatian masyarakat luar. Bahkan mitos dan cerita tutur yang beredar menjadi strategi jitu para pelaku ekonomi untuk menarik minat pembeli.

Pohon Meranak (selanjutnya ditulis Pranak), menjadi salah satu tumbuhan yang dipercaya sebagai flora endemik Muria. Tumbuhan dengan nama latin Castanopsis acuminatissima ini menjadi tumbuhan terbanyak dengan persentase 80% dari keseluruhan tumbuhan yang ada di hutan Muria. Sejak zaman penjajahan Belanda, Pranak menjadi pagar gunung yang membatasi antara lahan perkebunan dan hutan lindung di area pegunungan Muria.
 
Triyanto R Soetardjo (35), Founder Alammu Parijotho, mengajak Paradigma ikut menjelajahi keasrian hutan Muria. Sabtu (11/09) pagi, kami berkumpul di rumah dan sekaligus kantor CV. Seleksi Alam Muria miliknya. Ribut, sapaan akrab Triyanto bersama kerabat Alammu memandu kami melakukan perjalanan ke kebun kopi yang berlokasi di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. 

Dia menceritakan, di sana banyak pohon Pranak yang bisa ditemui di sepanjang perjalanan ke kebun. Tak berselang lama, sekitar 15 menit dari pabrik olahan sirup parijotho itu, tracking jalan yang licin akibat hujan semalaman membuat kami terpaksa memarkirkan motor. Sambil melanjutkan perjalanan, Ribut menceritakan asal mula mengapa masyarakat menyebutnya pohon Pranak.

“Ciri utama dari pohon Pranak adalah di sekeliling pohon ditumbuhi oleh anak-anak pohon dengan jumlah banyak. Ketika pohon Pranak sudah berusia tua, nanti akan tumbang dengan sendirinya, tertiup angin, kemudian digantikan oleh anak-anak pohon. Makanya banyak masyarakat menyebutnya pohon Meranak, karena anak-anak pohon tumbuh dengan sendirinya,” cerita Ribut sambil menunjuk pohon Pranak yang sudah tumbang.

Tumbuhan abadi yang tumbuh di Asia Tenggara dan Iran ini dapat mencapai umur hingga ratusan ribu tahun dengan tinggi 1,6 meter sampai 25 meter.  Karena umurnya yang lama, pohon Pranak dimanfaatkan untuk penghijauan hutan dan pencegahan bencana, seperti longsor, banjir bandang, bahkan kekurangan air. Pohon Pranak dapat menyimpan resapan air cukup banyak yang menjadikan gunung Muria masih hijau dan asri. 

Hasil penelitian Muria Research Center (MRC) Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Relung, Yogyakarta menunjukkan bahwa pohon Pranak mempunyai nama latin Castanopsis acuminatissima (Blume) A.DC. famili Fagaceae. Mochamad Widjanarko (51), selaku Pendiri MRC Indonesia mengatakan Pranak bukan tumbuhan endemik Muria karena di tempat lain juga ada jenis tumbuhan itu, meskipun dengan nama lokal yang berbeda.

Di beberapa tempat, pohon Pranak juga dikenal dengan nama-nama lain seperti ki anak, meranak, riung anak, ko-duai, ko-soi, ko-mat, ek putih, dan ek New Guinea/Papua. Secara Geografis, pohon ini tersebar dari barat daya Cina (provinsi Guizhou dan Yunnan), semenanjung Indocina (Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan perbukitan Chittagong Bangladesh) dan zona Malesia (seluruh Malaysia; pulau-pulau Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatra di Indonesia; serta pulau Papua (Indonesia dan Papua Nugini) dan pulau Britania Baru di Papua Nugini). (Wikipedia).

Triyanto membenarkan hal tersebut. Meskipun begitu, menurutnya, jumlah pohon Pranak di beberapa tempat tidak banyak. “Jadi, kawasan Muria cukup unik, karena di beberapa puncaknya masih didominasi oleh pohon Pranak, sedangkan di tempat lain mungkin ada, namun tidak sebanyak di Muria,” begitu Triyanto menceritakan, menunjukkan rasa bangganya terhadap tempat kelahirannya.

Jamur Merah yang Langka

Sesampainya di gubuk yang menjadi tempat istirahat kami, Triyanto kembali melanjutkan obrolan. Ia menceritakan salah satu keunikan lainnya dari pohon Pranak adalah tumbuhnya jamur merah. Rasa penasaran kami tergugah ketika Triyanto menyebut warga setempat sampai rela berebutan untuk mencari jamur merah tersebut. 

Jamur dengan nama latin Laetiporus atau dengan julukan Chicken of the woods ini kata Triyanto hanya tumbuh di pohon Pranak ketika musim kemarau berkabut (lembab). Bahkan, Triyanto menaksir, dari 20 pohon Pranak, hanya satu pohon yang dapat tumbuh jamur abang (merah). 

“Jamur merah ini tidak beracun dan bisa dikonsumsi, namun karena keberadannya langka dan hanya bisa tumbuh di pohon Pranak, jadi harganya relatif mahal. Untuk pengolahannya, jamur merah bisa ditongseng, pepes, sup, dan sebagainya,” ucap Triyanto membayangkan rasa jamur merah yang menurutnya sepeti daging ayam.

Ukuran jamur merah relatif besar, dengan lebar mencapai 10 cm hingga 25 cm. Idealnya jamur merah hanya mampu bertahan hingga tiga hari, lewat lima hari umur jamur sudah tua. Untuk rasa jamur merah, menurut Triyanto hampir mirip seperti daging ayam, dengan cita rasanya empuk dan kenyal.

Beberapa warga yang mencari jamur ini biasa menjual dengan harga Rp 100.000 hingga Rp 200.000 ribu untuk satu kilogram jamur. Saking langkanya, banyak masyarakat luar yang memesan karena tidak semua orang paham mengenai pohon Pranak yang berpotensi ditumbuhi jamur. 

“Kalau orang yang biasa mencari jamur merah, itu paham, karena dari segi baunya sudah tercium dari radius 30 meter. Ketika jamur merah tumbuh, jumlahnya cukup banyak dan bergerombol, satu pohon bisa sampai dua kilo. Kemarin saya dapat juga tidak terlalu banyak, sekitar dua kiloan tapi tidak saya jual. Saya olah dan konsumsi sendiri sama teman-teman, karena sensasi nyari jamurnya itu asyik,” ungkap Triyanto.

Laki-laki yang pernah jadi fotografer dan ojek wisata religi Muria itu turut menceritakan mitos yang dipercaya masyarakat dahulu mengenai pohon Pranak. Karena dinamakan pohon Pranak, masyarakat sekitar memanfaatkan anakan pohon Pranak sebagai pangkringan ayam atau unggas. 

“Hal ini dipercayai menjadikan anak ayam bertambah banyak dan sehat. Makanya anak-anak pohon Pranak biasa dijual di area wisata religi,” ujarnya.

Hal demikian juga diungkapkan Sutrimo (61), petani kopi asal Pandak, Colo, Dawe, Kudus. Pria yang kerap Mbah Trimo itu mengungkapkan bahwa dahulu pada zaman kewalian, selain digunakan untuk membuat pangkringan ayam, parang pohon Pranak juga dibuat pondok kerbau atau sapi. Mereka percaya dengan demikian akan membuat anak ayam, kerbau, atau sapi bertambah banyak. 

“Seiring perkembangan zaman, mitos tersebut sudah mulai hilang apalagi pada era millenial sekarang ini,” ungkap Mbah Trimo saat ditemui Paradigma di kediamannya.

Anggrek Muria

Anggrek Muria menjadi tanaman yang saat ini sulit ditemui di kawasan Muria karena terancam punah. Banyaknya masyarakat yang memburu tumbuhan anggrek untuk dijual sebagai hiasan tanpa adanya budidaya menjadi salah satu faktor penyebabnya. 

Kenji (43), seorang pemuda desa yang bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN), Desa Bageng, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati menjadi inisiator desa yang mencoba membudidayakan tanaman anggrek.

Sejak awal tahun 2019, ia mulai membuat lahan khusus untuk tempat budidaya anggrek. Di lahan seluas 25 m x 5 m itu Kenji menjelaskan alasan utamanya tertarik menanam anggrek adalah agar generasi penerus dapat mengenal dan mengetahui tumbuhan-tumbuhan yang ada di Muria.

“Lahan anggrek ini nantinya akan dikembangkan menjadi wisata edukasi.  Kita ingin menyelamatkan tumbuhan endemik Muria, ada banyak jenis seperti Argopilem, Lavanda, Tricolor, Buntut Kera, Kantong Semar dan sebagainya. Kita ingin generasi muda dapat mengenal dan paham akan flora endemik Muria itu seperti apa,” jelas Kenji sambil mengamati berbagai jenis anggrek yang ditanamnya. 

Sedangkan Mbah Trimo, yang dulunya juga sebagai pemburu anggrek, mengakui bahwa anggrek Muria memang sudah sulit ditemukan di kawasan Muria. Laki-laki yang kerap disapa Mbah Trimo itu, menceritakan sulitnya mencari anggrek ke hutan Muria.

“Saya sudah mencari anggrek ke hutan sejak tahun 2009, dulu harus menyusuri hutan, membawa bekal seperti halnya beras, panci, serta bumbu-bumbu masakan. Untuk mengambil anggrek juga susah karena harus memanjat. Setelah dapat, kemudian ditaruh dalam sarung atau daun nangkoh agar bunganya tidak rusak,” cerita Mbah Trimo sambil mengenang masa lalunya.

Terdapat banyak jenis anggrek Muria, diantaranya Argopilem, Buntut Kera, Tricolor dengan warna kuning, ungu, pink, dan putih. Semua jenis anggrek tersebut laku dijual. Apalagi dulu terdapat anggrek Kantong Semar di hutan Muria, namun oleh pemburu anggrek yang nakal, dijual ke luar kota dengan harga yang sangat mahal. Sementara di kawasan Muria, belum sempat untuk dibudidayakan.


Penulis: Atmimlana Nurrona, Redaktur Pelaksana LPM Paradigma 2021

*)Telah terbit pada Majalah LPM Paradigma Edisi ke-36
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pohon Abadi yang Menjadi Pagar Gunung Hutan Muria

Trending Now