Tanaman pakis yang menjadi bahas dasar pecel pakis makanan khas Colo, Kudus. Foto : (Muna/Paradigma) |
Berdiri sejak tahun 1974, Warung Pecel ‘Mbok Yanah’ tak pernah sepi. Baru beberapa hari terakhir hanya segelintir pembeli yang tampak menyantap pecel pakis di warung tersebut. Pandemi mengharuskan warung tutup sehingga warung hanya melayani pesanan online. Meski tutup, Sulyati (70) tetap berkenan menerima kami untuk mencicipi pecel pakis buatannya.
Warung Pecel ‘Mbok Yanah’ berada di seberang jalan Sunan Muria, tak jauh dari portal masuk Wisata Religi Sunan Muria, kurang lebih sekitar 200 meter. Tepatnya setelah tikungan dekat kantor balai desa Colo, Dawe, Kudus. Warung itu terlihat sederhana, sekilas tampak seperti rumah biasa dengan beberapa meja besar beserta kursi plastik yang terbagi menjadi dua ruangan.
Walaupun sederhana, kebersihan di warung itu selalu terjaga. Meja kursi tertata rapi, tak sedikit pembeli dari luar kota datang hanya untuk sekadar menyantap pecel pakis. Tanaman sayur pakis yang tumbuh liar setelah diolah menjadi pecel ternyata dapat menarik minat para pecinta kuliner.
“Banyak pelanggan dari jauh memang datang ke sini untuk makan pecel pakis. Mereka ada yang dari Blora, Pati, Semarang, Yogyakarta dan masih banyak lagi,” ungkap Sulyati sembari duduk satu meja bersama kami, Jum’at (09/07).
Tiga piring pecel pakis dan tiga teh hangat mendarat tepat di meja kami. Tak seperti pecel pada umumnya yang berisi berbagai jenis sayuran seperti bayam, kangkung, kol, kecambah, wortel dan kacang panjang, pecel ‘Mbok Yanah’ lebih didominasi sayur pakis yang dimasak dengan teknik khusus.
Sedikit tambahan kol dan kecambah melengkapi keunikan masakan asli Kudus ini. Aroma sedap dengan siraman bumbu kacang di atasnya, membuat perut kami memberontak untuk segera mencicipinya. Cukup dengan membayar uang sebesar 7500 rupiah, sudah dapat seporsi pecel pakis lengkap dengan nasi hangatnya.
Selain pecel pakis, Warung ‘Mbok Yanah’ juga menyediakan menu makanan lain untuk menarik minat pelanggan. Sebut saja pecel urap, ayam goreng atau ayam bakar yang juga banyak diburu pelanggan. Satu porsi pecel pakis lengkap dengan ayam, tahu dan tempe dihargai 220.000 untuk disantap lima orang.
“Kalau ramai, tiap harinya bisa memasak 30 sampai 40 ekor ayam. Namun karena pandemi, saya hanya bisa menghabiskan 15 ayam dalam satu hari,” ujar Sulyati.
Dalam kesehariannya, Sulyati dibantu satu anak dan tiga keponakan untuk melayani banyaknya pesanan. Salah satu pelanggan setianya adalah pengusaha rokok yang setiap dua minggu sekali memesan pecel pakis buatan Sulyati untuk acara makan bersama. Selain itu, banyak dari warga setempat yang juga memintanya membuatkan pecel pakis ketika sedang ada hajatan.
Sulyati menjadi generasi ketiga sebagai pemilik warung pecel pakis yang melegenda itu. Siti Aminah, yang tak lain adalah nenek dari Sulyati merupakan pencetus awal terciptanya pecel pakis. Diceritakan oleh Suyati, sebelum menetap di Kudus, Aminah pernah menjadi juru masak di keluarga kraton Surakarta selama hampir 20 tahun. Masakan yang sedap dan cita rasa yang lebih manis membuatnya dipercaya untuk memasak pecel pakis.
Sekembalinya Aminah ke kampung halaman di Colo, ia membuka warung pecel pakis. Warung tersebut mulai dikenal oleh masyarakat sekitar hingga diwariskan kepada anaknya yang bernama Yanah. Di tangan Yanah, warung pecel pakis semakin terkenal hingga ke luar kota. Dari situlah ia menamakan warung itu dengan namanya “Warung Pecel Mbok Yanah”. Sampai sekarang nama tersebut menjadi nama warung pecel pakis yang kini dipegang oleh Sulyati.
Memasak pecel pakis tidak semudah yang dibayangkan. Kesulitan membuat pecel pakis terletak pada proses merebus sayur pakisnya. Ada trik khusus yang diwarisi Sulyati dari generasi terdahulu. Untuk pecel pakis, daun sayur pakis dipilih yang masih muda kemudian dipisah dari batangnya dan dicuci bersih sebelum direbus hingga matang.
“Kalau tidak langsung disiram air dingin maka warna akan berubah hitam, kalau dikukus berubah menjadi merah, cuma saya yang bisa. Memasaknya juga harus matang, harus pas karena jika tidak akan terasa gatal,” terang Sulyati membeberken resep khususnya.
Sebagai pemilik warung pecel pakis yang laris, Sulyati tidak menanam sayuran pakis sendiri karena butuh perawatan khusus. Ia biasa membeli dari petani sayur pakis dari Pandak, Japan, hingga Mayong. Sebelum pandemi ia dapat membeli hingga 100-120 ikat dengan harga 3000-5000 rupiah per ikat.
Mendengar cerita itu, kami beranjak menemui salah satu petani pakis sayur di Pandak, Colo, Dawe, Kudus. Tanaman liar yang biasa ditemukan di tanah lembab dekat sungai ini ternyata ada pula yang membudidayakannya. Mustamir (70) merupakan satu-satunya pemilik lahan pakis terluas di Colo. Kebanyakan masyarakat hanya menanam di pekarangan rumah untuk dikonsumsi sendiri.
Cerita bermula saat Mustamir berbincang dengan pemuda yang mencari sayur pakis di sungai setiap Sabtu. Karena setiap Minggu Obyek Wisata Religi Colo dipadati peziarah, sudah pasti pedagang pecel akan membutuhkan sayur pakis untuk dijual. Mustamir lalu memutuskan untuk menanam pakis sayur di lahannya, menggantikan tanaman palawija.
Meskipun sempat terjadi perdebatan dengan istrinya, Tianah (64), Mustamir tetap menanam pakis sayur dengan berkeyakinan akan laku suatu saat nanti. “Bakale leh payu (nanti pasti akan laku),” kata mustamir saat ditemui Paradigma di rumahnya.
Ditemani Tianah, kami berjalan kaki menuju sawah milik mereka yang berada di dukuh Pandak RT 03 RW 03 desa Colo. Sawah berundak-undak yang ditanami pakis harus dialiri air setiap saat. Melalui paralon kecil, air sungai terdekat dialirkan ke sawah yang ditanami pakis sayur. Supaya daun gemuk-gemuk tanaman pakis juga diberi pupuk tiga bulan sekali.
“Menanam pakis harus gemati, jika kurang air bisa layu. Hanya perlu satu kali tanam, untuk selanjutnya daun yang sudah sangat tua dipetik, dirombak, lalu akan tumbuh daun lagi. Hanya butuh 2 hari bisa tumbuh tunas (daun muda lagi),” jelas Tianah sambil menyisir daun tanaman pakis sayur yang sudah tua.
Cara tanamnya cukup mudah, Tianah mengambil bibit pohon dari sungai lalu ditancapkan ke tanah, setiap tancap dua bibit pohon. Ada dua jenis tanaman pakis yang bentuknya hampir sama. Perbedaannya satu jenis tidak bisa dimakan karena beracun dapat membuat pusing (mabuk), sedangkan jenis lainnya dapat dimakan seperti yang terhampar di sawah milik Tianah.
“Membedakannya cukup mudah, terdapat bulu-bulu putih pada pakis beracun,” jelasnya sambil menunjukkan salah satu sayur pakis yang ditanamnya.
Tanaman dengan nama latin Diplazium esculentum ini tingginya tak lebih dari 50 cm. Sayur pakis merupakan sejenis tumbuhan paku-pakuan yang tumbuh liar. Daun pakis sayur dapat diambil dan diolah menjadi berbagai produk makanan, salah satunya pecel pakis. Tianah biasanya menjual per ikat seharga 3000 rupiah, cukup menguntungkan dengan biaya modal yang murah dan perawatan yang cukup mudah.
Selama ini penghasilan utama Mustamir dan Tianah adalah hasil tanaman Pakis, mereka tidak pernah berpikir bahwa pakis akan dicari banyak orang. Jika ada permintaan, Tianah mengambilnya sendiri ke sawah, setiap harinya bisa memanen 50-60 ikat daun pakis sayur tergantung jumlah permintaan.
Pembeli pakis paling banyak datang dari warung-warung pecel seperti warung milik Seh dan Marto yang ada di Glantengan, warung Mbok Yanah yang mendapat banyak pesanan dari chatering. Selain penjual pecel, terkadang orang dusun yang mengadakan kumpulan/acara hajatan juga membeli pakis ini.
Rasa sayur pakis diyakini lebih lezat dari sayur lainnya. Selain diolah menjadi pecel, pakis sajur bisa ditumis menggunakan bumbu brambang (bawang merah dan bawang putih), cabai, dan kemiri. Baru-baru ini juga ada olahan kripik dari daun pakis sayur, untuk kripik daun pakis dipilih yang lebih tua supaya lebih renyah.
“Kebanyakan para peziarah makam Sunan Muria mencarinya ya pecel pakis. Ada yang bilang kalau mereka datang ke warung tapi tidak ada pecel pakis mereka tidak jadi beli,” ujar Tianah dengan tangan menggenggam daun pakis yang baru saja dipetiknya.
Penulis: Muna Khoirun Nisa’, Sekretaris Redaksi LPM Paradigma 2021
*)Telah terbit pada Majalah LPM Paradigma Edisi ke-36