Best Viral Premium Blogger Templates

Rianto, Seniman Lengger Lanang Melawan Stigma

parist  id
Kamis, November 10, 2022 | 16:34 WIB

 

Rianto, Seniman muslim asal Banyumas ketika sedang menari sebagai penari Lengger Lanang (foto: Istimewa)

Oleh : Tsania Laila Magfiroh*

– Rianto adalah seorang seniman, tepatnya seorang penari Lengger Lanang. Sementara dalam kehidupan beriligi, dia adalah pemeluk agama Islam. Rianto, (41). adalah seorang seniman muslim di Banyumas.

Sebagai muslim, Rianto sama dengan laki-laki muslim lainnya. Tidak ada bedanya. Dia berdoa dan menjalankan salat lima waktu.

Seharusnya, Rianto bisa menjalankan ibadah seperti umat muslim lainnya. Namun, nyatanya tidak. Banyak diskriminasi yang dia hadapi. Rianto mulai bertanya-tanya, apa yang salah dari dirinya?

Rianto kerap mendapatkan pandangan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Mereka melihat Rianto bukan laki-laki, tapi banci. Tatapan dan pandangan tersebut bermula dari Rianto kecil yang memang sudah senang menari dan membawanya menjadi seniman Lengger Lanang seperti sekarang ini.

Kesenian tari Lengger Lanang yang berasal Banyumas ini memiliki ciri khas unik. Sebuah tarian yang diperankan oleh kaum laki-laki dengan berpakaian dan berdandan seperti halnya perempuan. Akhirnya tarian Lengger Lanang ini dianggap tabu dan menyimpang oleh masyarakat pada umumnya. Pandangan inilah yang ingin dikikis oleh Rianto sebagai seniman Lengger Lanang dan juga maestro Lengger Lanang Banyumas, dalam mematahkan stigma di masyarakat mengenai lengger langang dan para seniman lengger lanang.

“Saya dari kecil sudah disebut banci oleh teman-teman, karena kesukaan saya dengan menari, jadi cibiran stigma bermacam-macam sudah biasa saya dapat,” ungkapnya. 

Rianto kerap kali mendapatkan cibiran ataupun stigma dari masyarakat yang dianggap banci, ataupun sebagai laki-laki yang feminim karena kecintaannya dengan tari dan Lengger Lanang. Masyarakat menganggap penampilan keperempuaan yang kerap kali Rianto tampilkan dengan tarian Lengger Lanang itu sudah bertentangan dengan agama. Penyerupaan perempuan dan perlawanan kodrat yang ada di masyarakat membuat Rianto distigma dan dianggap melawan aturan agama. Belum lagi beberapa prosesi ritual yang harus dijalankan seorang penari Lengger. Membuat masyarakat menganggap semua yang dilakukan Rianto bertentangan dengan agama.

“Saya dianggap LGBT, sesat karena melawan ketentuan agama, hal-hal semacam itu sering dan biasa tapi saya biarkan saja,” jelasnya.

Pandangan buruk yang tercipta di masyarakat memang sudah dianggap risiko profesi yang diterima oleh Rianto. Rasa sedih dan kecewa memang dirasa oleh Rianto, namun, hal itu tidak dianggap beban yang harus dipermasalahkan berlarut-larut. Rianto tetap terus berkarya dengan Lengger Lanang dan memperkenalkan Lengger Lanang kepada masyarakat. Harapannya dengan karyanya masyarakat mengenal dan tidak banyak curiga dengan kesenian Lengger Lanang ini.

Saat menjadi Lengger juga diperlukan proses yang harus dilakukan oleh pelaku Lengger, misalnya mandi 7 sumber atau sumur yang berbeda diambil airnya, mandi kembang, berpuasa dan tidak makan makanan yang terkena api atau dimasak selama 40 hari. Dalam satu grub lengger jika ingin mendeklarasikan diri sebagai grup lengger maka mengadakan midang, seperti lengger barangan. Kemudian ada syarat lain berpuasa senin kemis, hadir ke panembahan silaturahmi Lengger atau leluhur untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggal.

Rianto mengungkapkan bahwa kini penari Lengger Lanang sudah hampir tidak ada, karena dipandang sebagai penari Lengger Lanang muncul stigma-stigma yang dihubungkan dengan LGBT dan hal-hal yang tidak wajar. “Penari Lengger Lanang itu sebelum-sebelumya malah tidak tahu apa itu LGBT, kita menari ya sesuai dengan kebudayan dan tradisi kita,” ungkapnya.

Akhirnya kesenian lengger ini sudah jarang ditampilkan karena adanya image dan stigma yang muncul saat tahun 90-an, walau sebelumnya masing cukup sering dilakukan. Hingga dicekal karena stigma di masyarakat. Anggapan-anggapan mengenai Lengger Lanang sebagai kebudayaan yang bertentangan oleh agama dan stigma buruk yang juga disematkan kepada seniman Lengger Lanang, membuat para seniman Lengger Lanang dilingkupi kecemasan dalam beribadah dan beragama. Sehingga mereka tidak bebas menjalan ibadah di tempat umum dan terus menerus dilumuti rasa was-was dan berdosa akibat tidak bisa menjalankan ibadah. Rianto juga menganggap masyarakat belum mengenal keseharian para seniman Lengger Lanang dan berharap masyarakat tahu jika mereka juga sama seperti masyarakat pada umumnya yang memiliki hak dan kewajiban dalam beribadah.  

 “Maka dari itu saya mencoba meregenerasi para penari Lengger Lanang untuk mendamaikan tubunya. Tetapi masyarakat itu sendiri memandang tubuhnya seperti perempuan, atau laki-laki kok menyalahi kodrat. Mereka ketika di atas panggung berperan mempresentasikan tubuhnya pada saat menari saja, tetapi sementara di luar panggung kehidupannya seperti manusia biasa dan beribadah sesuai dengan agama kepercayaan kita, karena saya muslim ya tetap salat seperti laki-laki umumnya,” tambah Rianto.

Rianto menuturkan banyak faktor yang membuat masyarakat memberikan stigma buruk dan cibiran terhadap Lengger Lanang salah satunya faktor pengetahuan. Masyarakat belum tahu betul mengenai Lengger dan tubuh Lengger. “Kalo mereka sudah paham betul dan mengalami pengalaman itu prosesnya, mungkin tidak langsung untuk menge-justice,” ungkapnya.

Meski begitu Rianto juga mengungkapkan banyak generasi saat ini yang masih ingin belajar tentang kesenian Lengger Lanang. Dengan berdirinya rumah Lengger dan film dari Garin Nugroho “Kucumbu Tubuh Indahku” yang terinspirasi dari perjalanan tubuhnya yang akhirnya menjadi penari internasional, sangat berdampak dan memiliki efek yang luar biasa untuk orang mengenal dan belajar Lengger kembali. Sekarang Rianto sudah memiliki rumah Lengger yang mewadahi aktivitas berkesinian mereka.

“Cara saya melawan justice ya dengan prestasi, saya menyampaikan kehidupan saya dengan prestasi, masyarakat akan melihat hasil dari kesenian ini dengan prestasi yang telah kita peroleh,” ungkapnya dengan semangat.

Ia berharap kesenian Lengger Lanang tak hanya dikaitkan dengan bentuk-bentuk visualnya, melainkan harus dipahami tentang filosofi yang terkandung didalamnya, “Masyarakat dan sosial yang tidak tahu wajar, tapi kita juga memiliki tanggung jawab memberi tahu. Maka dari itu saya bertugas mengabarkan pada seluruh dunia bahwa lengger lanang itu tidak menjadikan strata dan membatasi masalah gender,” ungkapnya.

Menurut Sofi Cipta Andini, mahasiswi Institute Seni Indonesia (ISI) Surakarta, berpendapat Lengger Lanang bagi setiap orang pasti berbeda-beda. Menurut seniman yang sudah paham mengenai Lengger Lanang pasti menganggap tarian ini antik. Berbeda dengan masyarakat yang berpandangan menjadi seniman Lengger Lanang sudah tidak menjadi laki-laki sejati, banci, bahkan dinilai sampai tidak suka dengan perempuan. Padahal dalam kehidupan sehari-hari juga seniman Lengger Lanang sama saja seperti masyarakat umum tetap berkeluarga dan beribah selayaknya manusia pada umumnya.

“Setiap profesi pasti punya risikonya masing-masing, begitu juga dengan menjadi lengger lanang itu sudah menjadi risiko yang harus ditanggung,” ungkap mahasiswi asal Banyumas.

Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Chusniatun mengungkapkan salah satu penyebab yang membuat sebagian masyarakat tidak menerima sampai terjadi stigmatisasi atau bahkan diskriminasi, tentunya tentang narasi agama, namun selain itu juga disebabkan ingatan-ingatan sejarah masa lalu yang dipahami oleh sebagian masyarakat bahwa Lengger Lanang itu tidak baik dan sempat dilarang.

“Mungkin masyarakat masih terbawa suasana masa lalu yang memahami kesenian Lengger Lanang itu tidak baik, padahal Lengger Lanang itu hanya sebuah tarian dan kesenian saja,” ungkapnya.

Chusniatun juga memberikan solusi pandangan agar masyarakat menerima dan para seniman Lengger Lanang tetap bisa berkarya dan bebas dalam beragama tanpa ada stigma negatif yang melekat pada seniman Lengger Lanang. Terdapat dua poin cara yang Chusniatun jelaskan, pertama mengenai trobosan dan modifikasi tarian Lengger Lanang agar bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat secara luas. Kedua dengan kolabolasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai tari Lengger Lanang yang merupakan hanya bentuk tarian saja, agar masyarakat paham akan tarian Lengger Lanang itu.

“Sosialisasikan kepada masyarakat tentang Lengger Lanang agar masyarakat itu tahu kalo Lengger Lanang ya hanya sebuah kesenian tari dan para senimannya juga seperti manusia normal pada umumnya, sosialisasi ini bisa berkerjasama dengan dinas pariwisata atau guru kesenian untuk menjelaskannya kepada masyarakat,” ungkapnya. 

Babak Cerita Lengger Lanang

Rianto bercerita Lengger Lanang lahir sebagai tradisi dari masyarakat jelata Banyumas yang lahir dari rahim kaum petani. Kesenian lengger ini dulunya dilakukan oleh kaum laki-laki untuk upacara ritual kesuburan, mereka berdendang, menyanyi dengan berkalung kelontong atau lonceng sapi yang mereka gunakan untuk menari, kemudian dipakaikan ke kerbau untuk membajak sawah. Suara itulah dianggap sebagai mantra agar tanah menjadi subur dan hasil tani menjadi melimpah. Kemudian pada perayaan panen maupun padang bulan atau bulan purnama, bersih desa, dan pernikahan sering ditampilkan kesenian Lengger. Jadi kesuburan dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kemakmuran masyarakat.

Bahasa Jarwodosok kata Lengger sendiri terdiri atas kata leng yang adalah lubang dan ngger yang artinya jengger yang berarti mahkota ayam jantan perlambang laki-laki. Lengger dapat diartikan sebagai ungkapan seperti perempuan ternyata laki-laki. Lengger Lanang sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang dan kompleks. Pada abad ke 16 Mangkunegaran ke 7 memerintahkan utusannya untuk menjelajah nusantara dan menulisnya. Kemudian sampailah perjalanan utusan itu di Banyumas dan menemukan kesenian Lengger lanang maka ditulis pada Serat Centihini pada abad 13-16.

Saat periode Islam di tanah Jawa dengan Islamisasi Demak, tradisi ini kembali dilakukan oleh laki-laki karena dianggap jika tradisi itu dilakukan oleh perempuan hanya sebagai hiburan maka tidak diizinkan dan dianggap bahaya dan riskan. Saat itu penari Lengger tidak berdandan sebagai perempuan namun jogetan tubuhnya meleburkan antara feminim dan maskulin dalam tubuh laki-laki, tidak membatasi gender dan mendamaikannya. ”Karena kalau hati dan tubuhnya damai menjadi medium perantara bumi dan langit ibaratnya pada sang pencipta,” tambah Rianto.

Kesenian Lengger Lanang dari Banyumas yang dipertunjukkan oleh laki-laki yang berdandan laiknya perempuan ini bertujuan memberikan kesadaran akan peran perempuan yang tidak dapat dipandang sebelah mata, melalui peleburan maskulinitas dan feminimitas di dalamnya. Dibalik Kesenian Lengger Lanang yang taat hikayat, tersimpan kesadaran persetaraan gender dalam masyarakat meskipun secara tersirat. Bukan untuk melawan kodrat dan melawan kepercayaan agama tertentu, Lengger lanang bagian dari ekspresi tubuh untuk mencintai ciptaan-Nya melalui tarian. [ ]

 

*) Penulis merupakan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta yang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Rianto, Seniman Lengger Lanang Melawan Stigma

Trending Now