Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger Templates

MANUSKRIP AL-QUR’AN BERTINTA WARNA EMAS KOLEKSI MUSEUM GUS JIGANG KUDUS

parist  id
Sabtu, Mei 17, 2025 | 22:35 WIB
Manuskrip mushaf Al-Qur'an yang berlokasi di Museum Gusjigang Kudus

Kudus, PARIST.ID- Dibalik lembaran kertas kuno yang tampak rapuh, tersimpan kisah dan ilmu yang kaya akan nilai spiritual dan sejarah. Manuskrip ini merupakan bagian penting dari warisan budaya yang menyimpan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan keindahan artistik. Naskah-naskah ini mencerminkan pengetahuan, kepercayaan, serta kebudayaan masa lampau. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak manuskrip mengalami kerusakan akibat usia, penyimpanan yang tidak memadai dan minimnya kesadaran publik akan pentingnya pelestarian.

Dengan mengamati secara teliti, kita dapat memahami bukan hanya isi naskah, tetapi juga sejarah, bahan, bentuk tulisan dan nilai yang terkandung didalamnya. Langkah ini menjadi awal penting untuk mengidentifikasi informasi dalam manuskrip serta menyusun strategi pelestarian jangka panjang.

Pengantar Filologi sebagai Ilmu untuk Mengkaji Manuskrip

Filologi mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, tetapi ilmu ini sebenarnya memegang peran penting dalam menjaga warisan intelektual bangsa. Melalui kajian filologi, naskah-naskah lama yang berisi pengetahuan, sejarah, hingga nilai budaya masa lampau dapat diungkap dan dipahami kembali. Bukan sekadar membaca teks kuno, filologi juga mengajak kita untuk menyelami cerita dan pemikiran yang terkandung dalam manuskrip.

Dalam Kamus Besar  Bahasa Indonesia (KBBI), filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat bahan-bahan tertulis.[1] Secara etimologis, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang terdiri dari dua kata yaitu philos dan logos. Philos artinya “yang tercinta” sedangkan logos artinya “kata, artikulasi, alasan”. Dalam Buku Filologi Indonesia, filologi didefinisikan sebagai ilmu yang menyertakan studi kebahasaan, sastra dan budaya.[2]

Hasil Penelitian Q.S. al-Fatihah di Museum Gus Jigang Kudus

Surat al-Fatihah merupakan pembuka dan inti dari al-Qur’an yang memiliki makna dan nilai keagamaan yang sangat dalam. Penelitian ini dilakukan dalam berbagai pendekatan ilmu, salah satunya adalah kajian filologi yang berfokus pada aspek sejarah, teks dan manuskrip. Dalam upaya menggali lebih dalam, salah satu manuskrip yang kami teliti ditemukan di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur. Manuskrip ini terbuat dari daluang dan masih berada dalam kondisi yang cukup baik, meskipun terdapat beberapa robekan kecil dan kerusakan pada beberapa halaman. Sistem jilidannya menggunakan tipe kuras dengan anyaman tali dan total halaman diperkirakan mencapai 338, dengan masing-masing berisi 17 baris per halaman. Sayangnya, beberapa data penting seperti kode manuskrip, nama penulis, pemilik, dan tahun penulisan belum dapat diketahui.

Manuskrip ini disimpan dengan baik dalam sebuah kotak kaca di ruang berpendingin udara, menandakan adanya usaha pelestarian. Secara fisik, ukuran naskah secara keseluruhan adalah 23,7 × 12,9 cm, dengan margin teks rapi sekitar 3 cm di atas dan bawah, 2 cm di kiri, dan 1 cm di kanan. Sampulnya terbuat dari bahan yang keras dan terdapat dua halaman kosong di bagian awal dan akhir manuskrip.

Tulisan pada manuskrip menggunakan kaidah rasm usmani. Sebagai contoh, misalnya pada penulisan kata  اَلْعَالَمِيْنَ dalam rasm usmani ditulis tanpa alif setelah huruf ‘ain menjadi  اَلۡعَٰلَمِينَ  pada ayat pertama surah al-Fatihah. Ditulis demikian, karena kalimat tersebut mengandung hadzf alif untuk meringkas kata, yang disebabkan keterbatasan alat tulis pada zaman khalifah Usman bin Affan. Berdasarkan ketentuan dalam penulisan khat dalam al-Qur’an, manuskrip ini secara keseluruhan menggunakan khat asli Jawi. Manuskrip ini secara bacaan ditulis dengan mengkuti riwayat Hafs yang mengacu pada qira’at Imam ‘Ashim. Selain itu tinta yang digunakan memiliki ciri khas tersendiri, warna emas yaitu untuk penulisan ayat Al-Qur’an, harakat dan tanda waqaf. Sedangkan tinta merah untuk pemisah surat, penamaan surat dan tanda lingkaran akhir ayat. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya tanda air (watermark), rubrikasi, catatan pinggir, catchword, atau penomoran halaman. Namun, keindahan visual diperkaya dengan iluminasi yang terletak di bagian awal, tengah, dan akhir, serta menampilkan motif flora berwarna merah, hijau, dan emas.

Manuskrip ini bukan sekadar artefak sejarah, tetapi juga jendela untuk memahami peradaban Islam di masa lalu. Kaligrafi dan hiasannya mencerminkan nilai-nilai spiritual dan artistik zamannya. Melestarikan manuskrip ini berarti merawat warisan intelektual, spiritual dan budaya bangsa. Kondisi fisik manuskrip masih terjaga dengan baik. Penyimpanan dalam kotak kaca di ruangan ber-AC menunjukkan perhatian serius terhadap konservasi. Sebagai tindak lanjut agar bisa dipelajari oleh generasi mendatang, penting dilakukan digitalisasi manuskrip, pelatihan konservasi, hingga pameran budaya. Kolaborasi antara museum, akademisi, dan lembaga budaya sangat diperlukan agar pelestarian manuskrip berjalan efektif dan berkelanjutan.

Penulis: Luthfia Khoirun Nisa, Sulha Rohmania, Lia Aulia Durrotun Nisa’, Dwi Nailul Fitriani, Kusnul Khotimah, Nailatul Azza Auliyah (Mahasiswa IAIN Kudus Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir)



[1] Kamus (Kamus Besar Bahasa Indonesia), https://kbbi.web.id/filologi , diakses pada tanggal 16 Mei 2025

[2] Oman Fathurahman, Filologi INDONESIA Teori dan Metode, Cetakan 1 (Jakarta: Prenadamedia Group,  2015)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • MANUSKRIP AL-QUR’AN BERTINTA WARNA EMAS KOLEKSI MUSEUM GUS JIGANG KUDUS

Trending Now