Best Viral Premium Blogger Templates

Memaksimalkan Ikhtiar dalam Menghadapi Pandemi

parist  id
Rabu, April 21, 2021 | 09:44 WIB

Foto: Istimewa


 Identitas Buku

Penulis                 : Zakaria al-Anshari

Penerbit              : TUROS PUSTAKA

ISBN                      : 978-623-7327-47-9

Halaman              : 192 Halaman

Cetakan               : Pertama, Oktober 2020

Peresensi            : M.Rizal


Bermacam ujian pada hakikatnya adalah hamparan pemberian. Datangnya cobaan tak hanya meniscayakan kesabaran, tetapi juga segala upaya untuk menghadapi cobaan tersebut. Karena dibalik cobaan itu pasti ada karunia dan rahmat Allah untuk hamba-Nya yang beriman.

Sudah lebih dari setahun pandemi Covid-19 menghantui seluruh umat manusia. Melihat realitas global yang menerjang tatanan kehidupan umat manusia dari level internasional, hingga rumah tangga, Covid-19 ini sudah menjadi musibah yang mengglobal. Nyatanya virus satu ini telah menyerang banyak orang tanpa memandang negara, agama, suku, ataupun strata sosial lainnya, maka tak heran jika Covid-19 disebut sebagai pandemi.

WHO (World Health Organization atau Badan Kesehatan Dunia) secara resmi telah mendeklarasikan bahwa virus corona sebagai pandemi pada tanggal 9 Maret 2020. Artinya, virus ini telah menyebar secara luas di dunia. Meskipun istilah pandemi terkesan menakutkan tapi sebenarnya itu tidak ada kaitannya dengan keganasan suatu penyakit, melainkan lebih pada penyebarannya yang meluas.

Pandemi sendiri bukanlah peristiwa baru yang dialami oleh umat manusia. Kaum muslim sudah menghadapinya sejak masa Rasulullah saw. sampai pada masa khalifah Umar yaitu wabah taun yang terjadi di Syam. Dikisahkan Umar membatalkan kunjungannya ke negeri Syam di tengah perjalanan. Keputusan Umar menuai kontroversi di kalangan sahabat. Sebagian sahabat menyangka bahwa Umar telah melarikan diri dari taun. Ketika ditanya oleh Abu Ubaidah mengenai mengapa dirinya lari dari takdir Allah. Umar pun berkata, “ kalau saja bukan engkau yang berkata seperti itu, wahai Abu Ubaidah (Umar tidak suka ada orang yang menyelisihinya). Iya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”(Hlm. 73)

Keputusan Umar untuk tidak mendatangi daerah yang dilanda wabah penyakit tidak semata-mata karena keinginannya sendiri melainkan karena Nabi pernah bersabda mengenai cara menghadapi wabah penyakit. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi “Apabila kalian mendengar taun terjadi di suatu tempat, maka janganlah kalian datangi tempat itu; dan apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian berada di situ, maka janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.” Melalui sabdanya, Nabi telah mengajarkan kepada kita dengan apa yang kita sebut sekarang  dengan ‘karantina’, dengan tujuan agar penyakit tidak menular kepada orang lain dan menyebar kemana-mana.

Maka keliru kiranya jika ada yang beranggapan bahwa Islam tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi pandemi. Karena protokol kesehatan yang diterapkan sekarang oleh pemerintah untuk memutus rantai penyebaran covid-19. Seperti tidak keluar rumah atau bepergian ke daerah wabah, menjaga jarak dan tidak berkerumun, serta seruan untuk menjaga imunitas tubuh, dan lain-lain; ternyata sudah dipraktikkan sejak zaman dulu, dan itu didasarkan pada dalil-dalil syar’i.

Islam telah mengajarkan kita untuk pasrah dan tawakkal kepada Allah ketika terjadi pandemi seperti sekarang. Namun sebelum tawakkal, tentunya ada tindakan seorang hamba untuk mencari berbagai solusi dalam menghadapi bencana atau musibah. Usaha inilah yang disebut dengan ikhtiar. Contoh ikhtiar ketika pandemi adalah seperti menerapkan lockdown yang mana seseorang akan dilarang keluar dari wilayah yang terkena wabah ataupun masuk ke daerah wabah. Karena Allah sendiri telah menetapkan pahala bagi orang yang bertahan di daerah yang terjangkit wabah sembari bersabar dan berharap pahala dari Allah, dimana besarnya pahala itu setara dengan pahala orang syahid (Hlm. 81).

Demikian pula dengan konsep social distancing yang mengatur jarak antara individu dengan individu lainnya. Bahkan Rasulullah melarang para sahabat untuk dekat-dekat dengan penderita kusta, sebagaimana dalam sabdanya: ”Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (HR. al-Bukhari).” Semua tindakan ini adalah sebagai wujud nyata dari konsep tawakal. Karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka berupaya dengan sungguh-sungguh untuk merubah nasibnya.

Buku terjemahan Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Amr ath-Thawa’in ini merupakan salah satu kitab yang menjelaskan tentang wabah. Buku ini ditulis oleh ulama yang dikenal sebagai mujaddid(pembaharu) abad ke-10 Hijriah. Buku ini merupakan buku kedua yang menjelaskan pandemi dalam Islam. Karena ada karangan Ibnu Hajar al-Asqalani yang juga menjelaskan pandemi yaitu kitab Badzl al-Ma’un fi Fadhl ath-Tha’un. Akan tetapi kitab ini sangat detail sekali sehingga orang awam termasuk para muridnya sulit untuk memahaminya.

Imam Zakaria berinisiatif meringkas kitab itu menjadi 14 pasal dengan menghilangkan bagian tertentu yang diulang-ulang atau hal-hal yang keluar dari tujuan yang diinginkan oleh mayoritas sahabat-sahabat kami (hlm. 2). Buku terjemahan ini secara garis besar berisi berbagai hal yang berkaitan dengan wabah taun, seperti hukum taun, waktu terjadinya taun, sejarah fenomena wabah taun dalam Islam, doa-doa yang dianjurkan ulama ketika masa pandemi, dan kisah Umar yang membatalkan kunjungannya ke negeri Syam di tengah perjalanan serta masih banyak pembahasan yang lain.

Keunggulan buku ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, buku ini merupakan buku klasik yang merekam fenomena wabah taun yang dialami kaum muslimin sejak masa Rasulullah SAW. Kedua, buku ini adalah ringkasan kitab wabah dan taun karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mana kitab beliau sangat mendetail dan terlalu banyak riwayat yang dikutip sehingga terasa sulit bagi banyak orang termasuk para muridnya. Maka Imam Zakaria meringkas karya sang guru (Ibnu Hajar al-Asqalani) sekaligus menambah poin-poin penting dan kejadian yang belum terekam sebelumnya. Ketiga, buku ini juga dilengkapi FAQ tentang covid-19 dan diparipurnai dengan teks Arab kitab aslinya.

Dari sini saya kira hal yang paling penting dalam menghadapi sebuah pandemi adalah meminta perlindungan kepada Allah dari wabah, bersabar menghadapi qada’ yang Allah telah tetapkan dan bersikap ridha terhadap takdir yang Allah telah gariskan (Hlm. 93). Disebutkan dalam Hadis bahwa orang yang dikehendaki baik oleh Allah akan diberikan sebuah musibah kepadanya sebagai tolak ukur apakah ia akan bersabar atau tidak. Dan yang paling pokok dari semuanya adalah berprasangka baik kepada Allah swt. Caranya, yaitu orang yang bersangkutan merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang harus menerima terhadap ketentuan Tuhannya, bahwa rahmat Allah lebih luas dari musibah yang Allah berikan, dan juga Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba tersebut.

Buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh setiap kalangan, apalagi di waktu pandemi seperti sekarang. Dengan membaca dan menelaah pasal demi pasal dalam buku ini, kita akan mendapatkan pencerahan dan berbagai solusi agar kita tetap sehat dan selamat dalam menjalani aktivitas sehari-hari di masa pandemi. Tentunya solusi-solusi itu berlandaskan pada dalil-dalil syari’at. Selamat Membaca. Wallahu A’lam.(*)   

*M.Rizal, Santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Selatan dan  Mahasiswa INSTIKA Guluk-Guluk Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Semester II

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Memaksimalkan Ikhtiar dalam Menghadapi Pandemi

Trending Now