Best Viral Premium Blogger Templates

Geliat Ekonomi : Antara Kreasi dan Mengembangkan Potensi

parist  id
Senin, Juli 11, 2022 | 21:19 WIB

 

Foto : Istimewa 

Alpukat dan jeruk, kini mulai menggeliat di kawasan Muria. Banyak orang yang melirik untuk membudidayakannya karena perawatan yang cukup mudah namun dengan hasil yang menjanjikan. Kedua primadona Muria setelah kopi ini bisa menjadi alternatif untuk menggerakkan roda ekonomi warga.

Kajar merupakan salah satu desa di kawasan lereng Muria yang ada di kecamatan Dawe, Kudus. Desa ini memiliki potensi yang cukup banyak, dari wisata sampai sektor pertanian. Mayoritas penduduk di desa Kajar memang berprofesi sebagai petani, dan salah satu potensi yang diunggulkan adalah buah alpukatnya.

Pohon alpukat menjulang tinggi di depan rumah Karjan, warga desa Kajar, Dawe, Kudus. Tak sulit untuk menemukan rumahnya, satu-satunya orang di desa Kajar yang mempunyai pohon alpukat terbesar yang tumbuh di pekarangan rumah.

Minggu (22/08) pukul 11.00 WIB, kami menemuinya. Ditemani sang istri, Karjan menyambut kami dengan ramah. Karjan adalah salah seorang petani yang di desa Kajar. Tahun 2020 lalu, Karjan berhasil mengangkat nama desa Kajar berkat alpukatnya. Bagaimana tidak, satu pohon alpukat miliknya laku dibeli oleh seorang pengepul sebesar 22 juta dengan sistem pembelian selama satu tahun.

Karjan menceritakan bahwa pengepul yang membeli alpukatnya memang sudah berlangganan dengannya selama lima tahun terakhir. Dari tahun ke tahun, harga jual alpukat miliknya kian meroket. Dari tahun 2016 yang harga jualnya hanya 8 juta rupiah, sampai terakhir tahun 2020 mencapai 22 juta rupiah untuk satu pohon.

“Kami tidak memakai trik khusus dalam perawatan, sama seperti yang lainnya. Kami percaya itu semua adalah berkah dari Gusti Allah,” ujar Karjan.

Perawatan yang dilakukan Karjan memang standar. Dia hanya memberi pupuk kompos yang terbuat dari kotoran hewan ternak miliknya sendiri. Dengan penyiraman rutin dan pemupukan berkala, alpukat milik Karjan dapat menghasilkan buah kurang lebih sekitar 8 kuintal selama satu tahun.

“Bentuknya memang kecil karena ini jenis alpukat mentega. Namun dari segi rasa dan kualitas lebih unggul ini dari jenis alpukat yang lain,” sambung istrinya, Sulastri yang berada di sebelah kanan Karjan.

Istrinya membeberkan bahwa hasil jual alpukat tersebut sudah digunakan untuk mendaftar haji bersama Karjan, sementara di tahun sebelumnya, penjualan alpukat dialihkan untuk membeli hewan ternak, yaitu sapi.

“Alhamdulillah, yang namanya rezeki itu sudah ada yang mengatur. Warga lain menanam alpukat seperti ini belum tentu mendapatkan hasil yang sama. Perawatan dan pohonnya boleh sama, tetapi rezeki setiap orang kan berbeda-beda,” jawab Karjan meyakini apa yang dikatakannya.

Sistem Lahan

Berbeda dengan Karjan yang menanam alpukat di depan pekarangan rumahnya, Agung Tri Handoyo (42), petani asal Ternadi, Dawe, Kudus membudidayakan alpukat dengan sistem tanam satu lahan. Menurutnya, baik di pekarangan maupun di lahan, standar perawatannya tetap sama. Hanya saja, kata Agung, yang membedakan adalah terkadang perawatan di pekarangan lebih bagus karena dekat dengan perairan rumah dan dijaga setiap hari.

“Semua tergantung cara perawatan masing-masing orang, jika ditanam satu lahan, harus dengan perawatan rutin dan pengairan yang cukup,” ujar Agung kepada Paradigma di kediaman rumahnya, Minggu (15/08).

Agung mempunyai tiga lahan terpisah, jika dihitung kurang lebih sekitar 1,4 hektar yang ditanami alpukat. Dari ketiga lahan itu, Agung melakukan panen setiap setahun sekali. Dalam sekali panen, buah alpukat yang ia tanam dapat menghasilkan satu ton, dengan jumlah tiap pohon mencapai 3-4 kuintal, biasanya pada bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari. Selain itu ada juga panen sela yang dilakukan di luar musim panen.

Laki-laki yang bertubuh tambun itu mengatakan menanam alpukat tidak harus di daerah pegunungan, baik di dataran tinggi atau rendah alpukat bisa ditanam. Lahan milik Agung berada pada ketinggian 500 mpdl, di ketinggian itu, alpukat yang dihasilkan dapat berkualitas bagus dan berbuah banyak.

“Terkadang jika alpukat jenis dataran rendah ditanam di pegununagan itu tidak cocok, karena kontur tanah, unsur hara, dan ketinggian tempat juga berpengaruh dengan kecocokan bibit,” papar Agung di pekarangan kebun alpukat sebelah rumahnya.

Harga jual alpukat tergantung banyak sedikitnya kesediaan buah. Di musim-musim panen pada bulan Desember, Januari, dan Februari, harga alpukat sedang murah-murahnya, satu kilogram harga standar sebesar 25 ribu rupiah. Sedangkan ketika stok terbatas, harga alpukat mencapai 40 ribu rupiah per kilogram. 

Untuk perawatannya, Agung menggunakan pupuk campuran dengan pupuk organik dan kimiawi. Sedangkan pembibitannya, ia mengaku menggunakan trik sambung pucuk. Dari bibit, butuh waktu sekitar 5 bulan agar siap tanam. Untuk bisa berbuah, alpukat harus berusia minimal 3-4 tahun.

“Pembiakan itu kan bisa dilakukan secara vegetatif, generatif, okulasi. Dalam teknik okulasi ada yang namanya sambung pucuk, sisip, dan cangkok. Jika cangkok kemungkinan berhasil 10%, paling bagus memang dengan sisip atau sambung pucuk. Caranya yaitu dengan memotong bagian pohon yang sudah tua, membelah bagian tengahnya, kemudian mengambil pucuk tunas untuk dimasukkan kedalam belahan, terakhir di sambung menggunakan plastik wrap,” jelas Agung sambil mempraktikkan teknik sambung pucuk.

Berkecimpung di dunia pertanian sejak kecil, Agung sudah cekatan memasarkan buahnya. Ia sudah mempunyai banyak pelanggan dan punya jaringan pasar sendiri. Adapun, jenis alpukat yang ditanam agung diantaranya adalah alpukat mentega, aligator, alpukat kendil, dan alpukat kates.

Memanfaatkan potensi pekarangan, tak hanya diterapkan pada alpukat saja. Di Japan, Dawe, Kudus, jeruk pamelo yang menjadi primadonanya. Hampir sama dengan alpukat, kebanyakan masyarakat di sana menanam jeruk pamelo di depan pekarangan rumahnya. 

Mereka percaya, buah yang dihasilkan jauh lebih bagus dari segi jumlah, ukuran, maupun kualitasnya. Hal ini diyakini juga oleh Sopan (40), warga Desa Japan yang menjadi penebas dan pengepul buah. Ia mengatakan kualitas jeruk di Japan sangat bagus karena rasanya yang manis dan tanpa biji, sehingga jumlah peminatnya cukup banyak.

“Kalau di tempat lain itu buahnya ada bijinya, sedangkan di Japan tidak,” ucap Sopan di ruang tamunya.

Menjadi primadona buah di Japan, Sopan memanfaatkan pasar itu untuk meraup keuntungan ekonomi. Sejak tahun 2001, ia sudah menjadi pengepul yang memasok buah dari para petani untuk dijual ke berbagai daerah.

“Kita sudah ada pelanggan sendiri, jadi para pedagang memesan ke kita lalu kita antar stok buah yang diminta. Kalau penjualan ke luar kota biasanya ke Jakarta sampai Bali, karena mereka berani mematok harga lumayan,” kata laki—laki bertubuh gempal dan berambut gondrong itu.

Salah satu petani Desa Japan, Pak carik japan/Supriyo (60), mengakui jeruk di Japan memang istimewa. Mempunyai tiga lahan, Supriyo memanen jeruk pamelonya setiap enam bulan sekali dan menghasilkan 12 juta untuk sekali panen. Meskipun begitu, di lahan seluas 2.500 meter miliknya, ia tidak hanya menanam jeruk. Ada juga alpukat, jambu, dan pepaya sebagai selingan.

Untuk menghasilkan buah yang bagus, Supriyo dengan ekstra merawat tanamannya seperti anak sendiri. Menurutnya, perawatan yang baik akan menghasilkan buah yang baik juga. Ia menggenjot tanaman jeruknya dengan pupuk yang berkualitas, penyemprotan sebulan sekali dan penyiraman yang rutin.

“Bahkan, di musim hujan, perawatannya lebih ekstra, biasanya seminggu dua kali jadi tiga kali,” tandasnya.


Penulis: Hasyim Asnawi Pimpinan Redaksi LPM Paradigma 2021

*)Telah terbit pada Majalah LPM Paradigma Edisi ke-36

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Geliat Ekonomi : Antara Kreasi dan Mengembangkan Potensi

Trending Now