Potret Gedung Rektorat dan Taman IAIN Kudus. (sumber: istimewa) |
Kedatangan Menteri agama membawa kabar baik bagi kampus IAIN
Kudus, gus Menteri menargetkan perubahan status IAIN Kudus menjadi UIN Sunan
Kudus akan terlaksana pada tahun ini. Tersisa satu tahapan agar IAIN Kudus
resmi menjadi UIN Sunan Kudus yakni dengan keluarnya pengesahan dari Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), lalu di
teruskan untuk mendapatkan keputusan dari Presiden.
Ambisi IAIN Kudus menjadi UIN Sunan Kudus tidak dibentuk
hanya dalam semalam, tercatat perencanaan transformasi tersebut mulai santer
digaungkan mulai sejak tiga tahun yang lalu, yakni pada pertengahan tahun 2020.
Tidak salah bila ambisi transformasi menjadi UIN Sunan Kudus semakin membara
akhir-akhir ini, hal itu tidak lain dikarenakan ketertinggalan IAIN Kudus dalam
bertranformasi daripada PTKIN berstatus IAIN se Jawa Tengah yang tengah lebih
dulu berstatus UIN pada pertengahan tahun kemarin. Spekulasi bahwa IAIN Kudus
bertranformasi menjadi UIN hanya untuk mengejar ketertinggalan terdengar sangat
pragmatis, lalu apa sebenarnya urgensi IAIN menjadi UIN?
Jawaban dari pertanyaan itu bisa kita lihat dari sisi
historis pencetus ide transformasi PTKIN. PTKIN pertama yang menginisiasi
perubahan IAIN Menjadi UIN adalah IAIN Jakarta yang dinahkodai oleh Harun
Nasution yang menjabat sebagai rektor periode 1973-1984, belum terealisasi pada
periode tersebut, ide tersebut diteruskan oleh rektor era (1992-1998) M Quraish
Shihab yang menyiapkan segala hal yang dibutuhkan hingga baru terealisasi pada
kepemimpinan rektor Azyumardi Azra (1998-2006) transformasi tersebut sontak
diiringi dengan infrastruktur yang memadai dan arah pengembangan yang
diperjelas yakni universitas riset dan universitas kelas dunia. Harun Nasution
dalam salah satu wawancaranya mengungkapkan bahwa transformasi IAIN menjadi UIN
diperlukan untuk mencetak sarjana yang tidak hanya memiliki ilmu agama saja
tapi juga ilmu umum untuk menjawab kebutuhan masyrakat dan tantangan dunia yang
semakin kompetitif.
Suatu institut pada dasarnya hanya boleh menyelenggarakan
pendidikan akademik pada rumpun tertentu. dalam hal ini rumpun pendidikan agama
islam. Namun dalam pandangan Azyumardi Azra yang dikutip nata (2005: 23)
menyatakan bahwa IAIN belum bisa banyak berperan optimal dalam bidang
birokrasi, akademik, dan utamanya belum mampu merespon perkembangan IPTEK serta
kompleksitas di masyarakat yang semakin disruptif. Hal ini dikarenakan IAIN akan memandang Islam
sebagai ilmu yang dikotomis sehingga perlu dipisah dari keilmuan lainnya.
Hadirnya UIN akan mereduksi dikotomisasi tersebut dengan mengintegrasikan
pengetahuan agama dengan pengetahuan IPTEK berbasis kreatifitas dan inovasi
Dasar lain transformasi IAIN menjadi UIN adalah untuk mengisi
sektor- sektor kerja yang lebih luas untuk lulusan PTKI, dengan dibukanya
berbagai formasi pendidikan dibidang ilmu modern seperti Sains, Ekonomi,
Sosilogi, Teknik, hingga Kedokteran, diharapkan dapat membuka mobilitas
lapangan kerja yang luas. Karena dibutuhkan generasi-generasi islami disetiap sektor dalam lapisan masyarakat,
sehingga segala tindakan dan keputusan yang diambil akan terus mempertimbangkan
syaria’t dan kemaslahatan ummat.
Dengan bonus demografi yang negara ini miliki, generasi muda
sudah sepatutnya terfasilitasi dengan hak untuk mendapatkan mutu terbaik sesuai
dengan minat bakatnya yang sekaligus sejalan dengan keyakinanya. Perubahan IAIN
Kudus menjadi UIN nantinya akan menjadi titik penentu arah baru kampus IAIN
kudus untuk menunjukkan eksistensi dan peran nyata di dalam masyarakat lokal
hingga global.
Opini ditulis oleh Arina El Widad (Pimpinan Umum LPM Paradigma 2023)