![]() |
Potret Manuskrip Al-Qur’an Mushaf 9 Museum Masjid Agung Demak |
Manuskrip atau naskah kuno merupakan warisan masa lampau yang berbentuk tulisan tangan (Lis Azfa.A., 2024), sebagai Cagar Budaya manuskrip menyimpan jejak intelektual dan peradaban terdahulu, menjadikannya benda yang tak ternilai harganya. Lebih dari sekadar lembaran-lembaran usang, setiap manuskrip merupakan jendela yang menghubungkan kita dengan pemikiran, keyakinan, dan praktik masyarakat di zamannya. Tak terkecuali Manuskrip Al-Qur’an Mushaf 9 dari Museum Masjid Agung Demak, yang menyimpan segudang informasi menarik untuk diungkap melalui lensa kodikologi dan tekstologi.
Sejarah
Singkat Penemuan Manuskrip Mushaf 9
![]() |
Potret Masjid Agung Demak |
Masjid
Agung Demak tidak hanya menjadi simbol kejayaan Islam di Tanah Jawa, tetapi
juga menyimpan peninggalan berharga berupa manuskrip-manuskrip Al-Qur’an kuno,
salah satunya yakni Mushaf 9. Penemuan mushaf ini menjadi jejak penting dalam
upaya pelestarian warisan keislaman dan sejarah budaya. Menururt penjelasan Husni Mubarok, penjaga
Musem masjid Agung Demak yang bertugas saat itu, bahwa diantara beberapa
manuskrip Al-Qur’an yang disimpan di Museum, kebanyakan ditemukan di lantai dua
masjid, salah satunya adalah manuskrip mushaf 9, dan diduga penulis dari
manuskrip ini adalah Santri yang pernah mengabdi di Pesantren Glagah Wangi,
namun penjelasan tersebut tidak disertai bukti yang cukup kuat. Dari beberapa
sumber menyatakan bahwa manuskrip mushaf 9 itu ditemukan di atap masjid, yakni
di bawah atap ketika masjid sedang dipugar. (Ulfa.P., 2024)
Karakteristik
Naskah
Manuskrip
Al-Qur’an Mushaf 9 dengan Kode Nomor DK-MAD/MMAD.9/AQ/2023, merupakan koleksi
dari Museum Masjid Agung Demak. Namun, nama penulis dan tahun penulisan naskah
tidak diketahui. Manuskrip dengan sampul berbahan kulit warna cokelat tua ini,
masih tersimpan dengan aman di Museum Masjid Agung Demak. Proses perawatannya
pun tidak begitu sulit, hanya dengan menyimpannya dalam lemari dan memberi
tembakau sebagai bahan pengawet alami. Meskipun kondisi fisiknya masih
terhitung bagus, namun penjilidan dari Manuskrip ini tidak utuh lagi, seperti
pada bagian surat Al-Baqarah diawali dengan lafadz “abwaabihaa wattaqullaha
la’allakum tuflihuun..” dan bagian terakhir naskah hanya sampai surat
Al-Lahab.
![]() |
Potret Manuskrip Mushaf 9 |
Penggunaan
warna tinta dalam naskah ini cukup beragam. Warna hitam digunakan untuk menulis
teks utama. Warna merah digunakan untuk beberapa tujuan, seperti menandai
kepala surat, permulaan juz, lingkaran akhir ayat, serta untuk iluminasi
(hiasan). Selain itu, terdapat warna hijau, biru, kuning, dan emas yang
digunakan untuk memperindah iluminasi pada naskah. Iluminasi ditemukan pada
awal surat dalam naskah ini. Kertas yang dipakai memiliki watermark dan countermark.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Terdapat catchword atau kata
alihan namun, tidak ditemukan adanya foliasi maupun informasi mengenai ukuran
margin, serta tidak ada parateks berupa catatan dalam halaman kosong.
Sebuah catatan penting mengenai kepemilikan (exlibris) ditemukan di bagian depan mushaf. Catatan tersebut ditulis dalam huruf Jawa dan berbunyi: "punika Qur'an kagunganipun Raden Ayu dirja tahun Welandi 1783. Kaparingke Rahaden Welandi," yang berarti "Qur'an ini milik Raden Ayu dirja tahun Belanda (Masehi) 1783. Diberikan oleh Rahaden Welandi."
Telaah Aspek Tekstologi Manuskrip Mushaf 9
Keunikan Manuskrip Mushaf 9 tidak hanya
dari segi kodikologi saja, tetapi juga tekstologinya. Penulisan mushaf ini
masih sangat kental dengan budaya penulisan pada abad ke 18 M. Terlihat dari
penulisan lafadz عوجاً, dalam mushaf 9 tidak dituliskan tanda saktah setelahnya, hal
tersebut menunjukkan bahwa memang penulisan mushaf pada saat itu tidak
menyertakan tanda waqof. Begitu pula dengan penomoran ayat, yang hanya
dituliskan dengan tanda titik atau bulatan kecil. Yang kedua sangat
mencerminkan budaya penulisan pada abad ke 18 M.
Gaya khat yang digunakan adalah khat
Naskhi dan rasm dalam Manuskrip tersebut adalah rasm Imla'i, seperti pada
lafadz الصالحات
masih ditulis dengan ejaan biasa (Imla').
Kemudian Qiro'at yang digunakan dalam
Manuskrip ini adalah Qiro'at Imam 'Ashim riwayat Imam Hafsh, hal ini dibuktikan
dengan lafadz مِن لَدُنْهُ. Menurut Imam Hafsh cara membacanya adalah بضم
الدال، وسكون النون، مع ضم وقصر الهاء (dengan huruf dal didhomah, nun
yang disukun, dan ha’ yang didhommah serta dibaca pendek). Berbeda dengan
riwayat Imam Syu'bah, cara membacanya adalah قرأ
باسكان الدال، مع اشمامها الضم، وكسر النون والهاء، مع الصلة
(huruf dal disukun dengan mencondongkannya ke dhommah, serta huruf nun
dan ha' yang dibaca kasroh dengan shillah). (nquran.com)
![]() |
Potret dokumentasi observasi |
![]() |
Potret dokumentasi observasi |
![]() |
Potret dokumentasi observasi |
![]() |
Potret dokumentasi observasi |