![]() |
Potret Foto Manuskrip salinan kitab alfiyah pesantren ploso, kediri. |
Manuskrip salinan kitab alfiyah ini ditemukan di Kota Malang, tepatnya Desa Sudimoro, Kecamatan Bululawang. Penulis manuskrip bernama H. Ichsan, yang dulu pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-falah Ploso, Mojo, Kediri. Dari lembar terakhir nadzam dalam manuskrip tertera tahun akhir penulisan pada hari Rabu bulan Agustus 1944 Masehi (Syakban 1363 H) sehingga dapat diketahui bahwa manuskrip ini berusia 80 tahun. Kondisi manuskrip dapat dikatakan cukup baik karena masih dapat dibaca dan utuh. Naskah ini memiliki ukuran 21 cm x 16,8 cm dengan sampul berjenis karton serta naskah berjenis kertas biasa. Manuskrip ini memiliki 276 halaman yang berisikan 81 bab seputar hukum nahwu mulai dari bab muqaddimah sampai bab Idghom. Selain itu, terdapat satu halaman kosong, 6 halaman yang berisi mengenai tanya jawab seputar nahwu, dan 9 halaman berisi catatan pribadi dari penulis. Bahasa yang digunakan dalam manuskrip ini ialah bahasa Arab dan Jawa. Sedangkan aksara yang digunakan ialah aksara Arab dan aksara Arab Pegon.
Dengan usia manuskrip yang terbilang cukup tua ini, banyak hal menarik yang tersimpan di dalamnya. Mulai dari cara penulisannya, isi kandungannya, serta refleksi metode belajar pesantren tempo dulu. Sebagaimana hasil dari penelitian manuskrip Salinan Kitab Alfiyah ini, terdapat beberapa keunikan di dalamnya.
A. Khat ala pesantren
Di kalangan pesantren jenis khat naskhi tentu bukan sesuatu yang asing. Khat ini sering digunakan dalam penulisan kitab-kitab kuning yang tersebar di kalangan santri. Begitu pula khat yang digunakan dalam manuskrip ini, kebanyakan menggunakan khat naskhi. Akan tetapi, terdapat variasi-variasi khat lain di dalamnya, sehingga penulisan khat terkesan tidak konsisten. Meskipun demikian, hal tersebut menjadikan tulisan ini berbeda dan menarik dengan munculnya ciri khas khat yang digunakan dalam dunia pesantren.
B. Mind mapping santriMind mapping atau peta konsep adalah sebuah alat untuk
menyajikan suatu informasi secara sistematis. Dalam manuskrip ini ditemukan bagan-bagan
atau mind mapping mengenai beberapa materi yang telah dipelajari
khususnya dalam ilmu nahwu. Pembeda mind mapping ini dengan yang lain ialah adanya
do’a yang tertera di bawahnya. Do’a tersebut berbunyi
اللهم لك
الحمد و منك الفرج و اليك المستكى و بك المستعان و لا حول ولا قوة الا بالله العلي
العظيم
Artinya :
Ya Allah segala puji bagimu, dan engkaulah kelapangan, hanya kepadamu kami mengadu atas kesulitan yang kami hadapi, dan engkaulah penolong kami.
Selain kesungguhan penulis dalam mempelajari ilmu yang sedang ditekuninya, ia juga tidak lupa akan do’a yang senantiasa menemani.
C. Soal tanya jawab
Dalam setiap akhir proses pembelajaran pasti terdapat soal penguji yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa atau yang dikenal dengan evaluasi. Hal ini juga ditemukan dalam isi manuskrip, terdapat 40 soal berkaitan dengan ilmu nahwu terkhusus bab jamak taksir. 40 soal tersebut disertai dengan jawaban yang menggunakan bahasa Jawa Krama.
D. Surat pribadi
Selain seputar keilmuan, dalam manuskrip ini juga memuat surat pribadi penulis yang berisi tentang ungkapan kerinduan beserta do’a untuk seorang kawan lama. Bahasa yang digunakan cukup unik yaitu bahasa Indonesia yang dicampur dengan istilah Arab dalam penulisannya.
E. Colophon
Colophon atau catatan akhir yang biasanya berisi ucapan penutup atau pembuka dalam kitab-kitab kuno juga terdapat dalam manuskrip ini. Colophon tersebut berisikan tanggal penulisan manuskrip yaitu Yaumul Arba’ah Muwafaq lil hilal Sya’ban 1363 Hijriyah madrasah salafiyah Ploso kediri.
Dari beberapa uraian mengenai manuskrip Salinan Kitab Alfiyah di atas dapat dikatakan bahwa tradisi tulis-menulis yang dibudayakan dalam pesantren bukan sekedar peninggalan tulisan lama, melainkan menjadi warisan keilmuan yang perlu disebarluaskan. Budaya tulis-menulis dalam pesantren ini juga tidak hanya belajar mencatat, tetapi juga belajar tentang kesabaran, ketekunan, serta kecintaan seorang pelajar terhadap ilmu yang ditekuninya. Ditengah derasnya arus digitalisasi, manuskrip-manuskrip ini menjadi pengingat bahwa ilmu yang ditulis tangan disertai do’a dan adab memiliki ruh yang tidak tergantikan. Karena penting bagi generasi hari ini untuk tidak sekadar membaca kitab digital tanpa sentuhan pena, melainkan tetap melestarikan budaya tulis-menulis yang telah diwariskan para ulama’. Seperti yang dikatakan Imam Syafi’i :
العلم صيد والكتابه قيده
Ilmu itu seperti hewan buruan sedangkan tulisan adalah tali ikatannya, Maka jangan biarkan ilmu itu hanya sekedar melintas dimata begitu saja, melainkan masukkanlah kedalam hati dengan menuliskannya.