Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger Templates

Anak-Anak Putus Sekolah: Hilangnya Hak Pendidikan Mereka yang Tinggal di Perkampungan Kumuh

parist  id
Selasa, Oktober 28, 2025 | 15:25 WIB


Potret kehidupan anak-anak di bantaran Kaligelis, Desa Demaan, Kabupaten Kudus, Minggu (26/10). Di tengah tumpukan sampah dan kepadatan permukiman, anak-anak tetap beraktivitas dan bermain di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. (Doc: Frirzhan Aditya)

Kudus, PARIST.ID - Keramaian pengunjung menikmati akhir pekan di Alun-alun Kota Kudus seolah menjadi lahan cuan bagi pemuda berambut ikal, berkaos oblong dan celana pendek berbahan denim. Namanya Muhammad Toni. Dengan gitar mininya, pemuda 20 tahun mendekati pengunjung lalu menyanyikan bait-bait lagu. 

Raut wajah nampak kelelahan, bibirnya pucat, dan sorot mata sayu penuh harap ada pengunjung yang berbaik hati mengulurkan uang pecahan dan memasukkan ke kantong yang disodorkannya.

Menjadi pengamen bukan lagi hitungan bulan. Anak keempat dari enam bersaudara ini melakoni kerasnya hidup dengan gitarnya sejak di bangku Sekolah Dasar. Mencari uang untuk membantu menanggung kebutuhan ekonomi keluarganya yang tinggal di kampung kumuh Desa Demaan. Wilayah yang berada di sekitar bantaran Sungai Kaligelis Kabupaten Kudus.

Bagi Toni, mengamen adalah pekerjaan yang paling memungkinkan dilakukannya. Tak butuh keterampilan khusus, tapi dari hobinya bermain gitar. 

“Dulu waktu masih sekolah sering diminta bernyanyi. Ngamen ya awalnya cuma ikut-ikut, lama-lama jadi terbiasa. Sekarang, ya buat bantu orang tua,” kata Toni kepada tim LPM Paradigma, di Alun-Alun Simpang Tujuh, Kudus.

Faktor ekonomi membuat Toni harus putus sekolah sejak SMP. Kini hidupnya dicurahkan sepenuhnya untuk menafkahi keluarga. 

Toni bercerita, ia menanggung sebagian besar kebutuhan keluarga. Sebagai kakak dari dua adik yang masih kecil, ia menaruh harapan besar agar mereka bisa memperoleh pendidikan yang lebih layak. 

“Aku bantu semua kebutuhan  orang tua. Prinsipku, kalau aku dan kakak-kakakku sudah putus sekolah, aku harus usahakan adikku bisa sekolah. Biar bisa angkat derajat orang tua,” ungkapnya dengan sorot mata penuh harapan. 

Terkadang menjadi pengamen membuatnya sering dianggap sebelah mata. Ia sebenarnya ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih layak tetapi sulit ia dapatkan dengan hanya bermodalkan ijazah yang dimiliki. 

“Pernah mencoba kerja buruh pabrik di Jepara, tapi kalau kerja jauh pulang enggak bawa apa-apa, buat apa?” ujarnya dengan nada retoris.

Bagi Toni, kesibukannya mengamen merupakan jalan realistis sembari memikirkan pekerjaan lainnya, dan menjalani dengan senang hati. 

“Daripada nganggur di rumah, mending ngamen. Bisa bantu orang tua,” ujarnya semangat. 

Kisah Toni ini, banyak dialami anak-anak yang tinggal di perkampungan kumuh di bantaran Kaligelis yang terpaksa mengais rezeki di jalanan. Mayoritas warga di sini bekerja serabutan, menjadi pemulung, tukang becak, juru parkir liar, pencuci kendaraan truk, dan pengamen seperti Toni. 

Tak Ada Dukungan

Persoalan yang dihadapi warga yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Kaligelis ini sebenarnya sangat kompleks. Para ibu yang tinggal di kawasan itu saat ditemui Tim LPM Paradigma enggan merespons dan memilih tutup mulut tentang kondisi anak-anak mereka. 

Potret kegiatan sore anak-anak bantaran kaligelis yang tengah asik bermain di Lapangan kampung sosial, Demaan, Kudus (26/10)

Fridayanti (20), warga Demaan, yang bersedia bercerita mengungkapkan alasan  anak-anak kawasan tersebut banyak yang putus sekolah. 

“Alasannya sebenarnya macam-macam. Ada yang karena malas belajar, ada pula karena faktor keluarga yang sering berpindah tempat akibat terlilit utang. Namun, sekolah sekarang gratis, paling cuma beli seragam di awal saja. LKS juga gratis. Ada yang dapat bantuan PKH atau bantuan sekolah juga. Harusnya bisa nutup biaya sekolah,” keluhnya

Ia juga  membagikan kisah saudaranya.  Si anak  terpaksa putus sekolah lantaran persoalan orangtua yang tak mampu diselesaikan. Pada akhirnya anak-anaknya tak mendapatkan pendidikan yang kayak.

"Nggak mampu bayar, jadinya melarikan diri dan pindah, anaknya dibawa, cewek kelas 2 SMP dan satu cowok kelas 6 SD. Saya dan ibuku sempat nyari mau ngambil anaknya, soalnya masih sekolah waktu itu. Tapi nggak tahu pindah ke mana. Baru balik lagi ke sini buat bayar utang-utang itu setelah punya uang. Nggak sempat izin keluar sekolah, jadi kayak rapor dan lain-lain mereka nggak dapet. Eman banget padahal waktu itu yang SD mau ujian,” jelasnya dengan nada getir.

Di sisi lain, Muslihin, Kepala Desa Demaan mengakui, berdasarkan amatan dari pihak desa, banyak juga ibu-ibu yang bekerja sebagai pengemis membawa serta anak-anaknya. Mereka biasanya beredar di lokasi-lokasi strategis seperti kawasan wisata Menara Kudus. 

“Kebanyakan orangtua, ibu-ibunya ngemis-ngemis, bapaknya ngamen ada yang cari rongsokan. Masalahnya, anaknya belum selesai SD diajak ngemis,” tuturnya.

Ia seringkali mendapat laporan dari pihak sekolah mengenai kondisi anak-anak yang memilih tidak sekolah karena ikut orangtua mengemis. 

“Pihak sekolahan sering lapor ke desa dan kami panggil, anaknya mau lanjut sekolah atau tidak. Seminggu kemudian, sudah tidak mau sekolah lagi padahal harapannya mau lanjut tapi dari pihak orangtua yang tidak mau mendukung. Mereka jadi malas sekolah,”imbuh Muslihin. 

Muslihin mengakui banyak warganya yang mengambil jalan pintas berutang pada rentenir untuk menutupi kebutuhan hidup lantaran penghasilan yang tak menentu. 

"Urusannya dengan rentenir, semisal nggak bisa bayar ya, rumahnya disita.  Akhirnya dijual ke orang Rp 20  juta. Yang jualin rentenirnya karena nggak bisa bayar utang,” jelasnya. 

Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Kudus mencatat, pada tahun 2023, terdapat sekitar 700-an anak tidak sekolah yang tersebar di sembilan kecamatan di Kabupaten Kudus. Faktor dominan mereka kesulitan ekonomi sehingga anak yang masih dalam usia wajib belajar 12 tahun, harus bekerja membantu memenuhi kebutuhan.

Berdasarkan data Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Kabupaten Kudus Tahun 2024-2026, akses layanan pendidikan masih rendah karena belum mampu menuntaskan standar minimal pendidikan wajib belajar 12 tahun. Rata-rata lama sekolah penduduk usia sekolah di Kabupaten Kudus berada pada angka 8 tahun atau setara kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP).

PKBM Menjadi Oase

Keprihatinan terhadap kondisi anak-anak Kaligelis yang memilih bekerja daripada tidak sekolah juga dirasakan Emy Tripalupi, pendiri dan pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Desa Demaan. 

Menurutnya, anak-anak usia pelajar tidak fokus pada pendidikan dan kurang mempunyai motivasi belajar karena lingkungan dan keluarga yang tidak mendukung. 

“Anak-anak ikut turun ke jalan. Memang rutinitas mereka seperti itu akhirnya berdampak ke psikis. Semangat belajar kurang, orangtua nggak mau mengajari belajar. Akhirnya, putus sekolah. Kalau yang sudah besar lebih suka ngumpul ngumpul hampir tiap hari minum-minum. Khawatirnya ini dicontoh anak-anak,” paparnya kepada tim LPM Paradigma saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.

Emy menegaskan, apapun kondisi anak, mereka tetap punya hak untuk mendapatkan pendidikan dan difasilitasi. Emy yang tinggal di Dukuh Ledoksari, Desa Demaan tergerak menciptakan ruang aman bagi anak-anak Kaligelis dengan menyediakan ruang belajar di kediamannya. 

Emy memilih pensiun dini dari Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Kudus, dan sejak lama memilih melakoni kegiatan sosial, bahkan sebelum mendirikan PKBM.

“Niatnya membantu sukarela, jadi saya tidak terpikir untuk membuat lembaga. Nah, lembaga ini dibuat karena dulu butuh untuk pendidikan kesetaraan. Dulu, kan banyak sekali yang buta aksara. Untuk kegiatan pembelajaran ini, ada saran dari dinas untuk dilegalkan sebagai formalitas kegiatan kesetaraan,” ungkap Emy. 

PKBM di Desa Demaan menjadi lembaga pendidikan kesetaraan yang diresmikan pada tahun 2005. Kegiatannya fokus pada pendidikan anak-anak yang dijalankan dengan fleksibel dan menyesuaikan kebutuhan masyarakat. 

“Setiap program lahir dari kondisi lingkungan sekitar, jadi kegiatannya selalu melihat kondisi di lapangan. Siapa yang paling membutuhkan bantuan, itulah yang kami dampingi, Jika ibu-ibu di lingkungan sekitar membutuhkan kegiatan sosial yang dapat meningkatkan pengetahuan dan mempererat tali silaturahmi, ya bisa saja dilakukan.” ujarnya.

Sebelumnya, PKBM ini membantu warga sekitar pemberantasan buta aksara, pendidikan karakter bagi anak-anak terpinggirkan, pendidikan religi, hingga peningkatan keterampilan, dan cek kesehatan.    

“Dulu, kegiatan warga di sini membuat pernak pernik, membuat barang-barang yang dapat dimanfaatkan, masak-memasak, pemberantasan buta aksara. Ada juga kegiatan cek kesehatan dan posyandu lansia dibantu oleh mahasiswa kesehatan, tetapi itu berjalan sebentar saja karena kendala tenaga bantunya,” ungkapnya. 

Dengan adanya kegiatan yang diinisiasi Emy, setidaknya membantu warga dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, termasuk juga meningkatkan pendidikan karakter anak. 

“Awalnya banyak yang belum bisa membaca, menulis, atau berhitung. Sekarang sedikit demi sedikit mulai mengenal huruf, angka, dan bisa berkomunikasi lebih baik. Kami juga ajarkan sopan santun, terutama kepada anak-anak. Soalnya di lingkungan mereka kadang masih ada kebiasaan ngomong ceplas-ceplos, bahkan kalau marah suka keluar kata-kata yang kurang pantas,” terangnya.

Di Kabupaten Kudus, saat ini terdapat 18 PKBM yang menjadi garda terdepan untuk mengintervensi anak-anak yang tidak sekolah melalui pendidikan persamaan. Mereka bisa menempuh Paket A setara dengan Sekolah Dasar (SD), kemudian Paket B setara Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Paket C setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Meski non-formal, ijazah dari PKBM bisa digunakan untuk melanjutkan ke pendidikan formal.  

Pemerintah Kabupaten Kudus mencatat sebanyak 15.573 siswa menerima manfaat Program Indonesia Pintar (PIP) untuk meringankan beban biaya pendidikan para siswa yang kurang mampu. Bantuan diberikan dalam bentuk tunai untuk membeli perlengkapan sekolah siswa seperti membeli buku dan seragam. 

Simbol Problematika Kota Industri 

Kawasan di sekitar bantaran Sungai Kaligelis dikenal sebagai kampung sosial, sebutan bagi permukiman di atas tanah milik pemerintah, bukan tanah pribadi. Bangunan fisik rumah deret semi permanen di perkampungan kumuh ini saling berimpitan.

“Tanah di tempat itu milik dinas sosial. Makanya dinamakan kampung sosial, kebanyakan satu rumah dihuni hingga tiga kepala keluarga,” ujar Muslihin, Kepala Desa Demaan. 

Kondisi rumah yang berdempetan kawasan yang berada di bantaran Kali Gelis, RT 04/RW 04, Desa Demaan, Kudus. Kawasan padat penduduk ini masuk dalam kategori permukiman kumuh yang ada di Kudus (26/10).

Sementara itu, Saifuddin, Sosiolog dari Universitas Islan Negeri (UIN) Sunan Kudus menyoroti keberadaan kampung kumuh di tengah Kota Kudus sebagai problematika kota yang bertumbuh menjadi kota industri. Fenomena ini dilihat dari sisi historis yang tak lepas dari peran Kota Kudus sebagai kota industri. 

“Kampung sosial itu sejarahnya memang tumbuh dari proses urbanisasi. Fenomena ini hampir sama dengan kota-kota lain di dunia. Kalau kota industri, itu wajar jadi pusat aglomerasi. Seperti gula yang dikerubuti semut. Yang menjadi persoalan–ketika di tempat yang crowded itu  tidak semua tertampung di sektor formal. Ada orang-orang yang tidak tertampung di sektor industri, kemudian jadi mengamen, mengemis, merongsok. Seperti halnya di Jakarta,” ungkap Saifuddin.

Menurut dosen program studi Pengembangan Masyarakat Islam ini, masyarakat cenderung akan mendatangi tempat-tempat yang strategis untuk mencari pekerjaan. Kudus menjadi salah satu wilayah yang memiliki gumpalan modal yang besar. Meski luasan kota kretek ini hanya 44,7 ribu hektare.

“Dunia usaha di sini sangat menjanjikan. Sektor industri tumbuh karena Kudus meski kota kecil banyak diminati investor,” jelasnya. 

Saifuddin juga menambahkan, Kudus menjadi kota yang cukup unik karena selain wilayah industri juga dikenal sebagai kota religius. Situs-situs keagamaan tak pernah sepi dari kunjungan pelancong  dan peziarah lokal maupun dari luar daerah. Sehingga, dengan wilayah yang strategis membuat banyak pendatang yang membuat rumah dipinggir Sungai Kaligelis.

“Pertama, ada tempat atau pusat sumber mata pencahayaan di sana. Kedua, situs Wali Songo menjadi tempat mengais rezeki. Meskipun meminta-minta, sangat potensial. Karena itu dikumpulkan dengan nuansa religius. sodaqoh dan lain sebagainya. Sehingga, menjadikan mereka yang tidak tertampung di sektor formal itu merasa sudah terpenuhi dan menjadi nyaman,”imbuhnya.

Sebenarnya dalam perencanaan tata ruang, kawasan kumuh di Demaan pernah direlokasi ke kawasan Hadipolo. Namun pada kenyataannya, ini tak mengubah kehidupan warga yang tinggal di tempat itu. Relokasi tak membuahkan hasil. Warganya tetap kembali ke kota dan menjadi simbol problem klasik kota industri, urbanisasi, sektor informal, dan kemiskinan struktural.

Mata pencahariannya sebagian besar tetap mengemis dan mengamen. Ada pula yang membangun toko, buruh pabrik, dan lain sebagainya. 

“Pendekatan struktural saja tidak cukup. Harus ada pendekatan kultural, pemberdayaan, dan partisipasi masyarakat. Mereka punya potensi, jadi jangan hanya dipandang sebagai beban,” tegas Saifuddin.***

Reporter: Putri Pazriani, Firda Maulidatin Ni’mah
Penulis : Putri Pazriani
Dokumentasi: Frirzhan Aditya 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Anak-Anak Putus Sekolah: Hilangnya Hak Pendidikan Mereka yang Tinggal di Perkampungan Kumuh

Trending Now