Indonesia merupakan negeri kaya raya, berjajar indah dan berlimpah ruah sumber daya alam. Sejak dari tanah rencong Aceh, sampai bumi cendrawasih Papua di ujung timur. Kenyataan itu ditasbihkan dalam ungkapan gemah ripah loh jinawi. Grup band legedaris Koes Plus mengimajikan tanah negeri ini yang saking suburnya, “tongkat batu dan kayu jadi tanaman”. Bertahta manis di persimpangan jalur strategis perdagangan dunia dan diapit pula oleh dua benua, beriklim tropis nan hangat yang menjadikan tanahnya subur tak terkira, hingga menjadi rebutan dan idaman sejak zaman Kolonial hingga era globalisasi, modernisasi sekarang ini.
Itu yang dijejakkan pada kita saat berkhidmat di
sekolah. Suguhan itu termaktub dalam bab geografi, pendidikan kewarganegaraan,
sejarah, dan keterangan guru.
MH Ainun Najib (Cak Nun),
tegas menyatakan jika Negeri ini adalah
penggalan surga. Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan
keindahan dan kekayaanya, dan cipratan kekayaan dan keindahanya itu bernama
Indonesia Raya. Ungkapan ini klise lantaran
kita hafal maksudnya, meski tetap mengundang penasaran untuk membuka kembali
lembaran dalil soal surga. Dalam kitab suci, surga digambarkan serba indah
sebagai imbalan pahala. Kita dapat Indonesia tanpa lakukan pahala apapun. Di
sini pertanyannya.
Sayangnya, saat ini ungkapan itu hanya semacam mimpi
yang kepalang tinggi. buktinya, kini lebih dari sepuluh juta rakyat
Indonesia tidak memiliki pekerjaan alias nganggur dan berada di bawah
garis kemiskinan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh sikap mental yang cepat
puas dengan hasil kerja, etos kerja yang kurang menghargai kerja keras dan
kurangnya pangetahuan mengenai kewirausahaan.
Kebanyakan
masyarakat Indonesia, merasa enggan berwirausaha karena pola pikir (mindset)
yang ada di otak mereka yaitu memulai suatu usaha haruslah mempunyai modal yang
besar serta bakat dan keterampilan yang mumpuni. Di samping itu, adanya
ketakutan akan resiko bisnis yang gagal dijalankan.
Padahal,
jika kita menilik kisah para entrepreneur sukses sekaliber Bob Sadino, mereka
biasa memulai usahanya dengan modal yang kecil bahkan seadanya, tapi berkat
keuletan serta kesabaranya, mereka dapat mengembangkan usahanya menjadi usaha
yang besar, sukses dan dikenal masyarakat luas. Sedangkan, kegagalan dalam
berwirausaha adalah hal yang lumrah
terjadi, menjadi sangat menggelikan jika kita cengeng dengan sebuah kegagalan.
Pepatah
lama mengatakan, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Jadi
tidaklah heran jika kita ingin sukses, maka kerikil-kerikil tajam dan sejuta
aral melintang tak akan pernah mampu meluluhlantakkan semangat kita.
Kebanyakan
masyarakat Indonesia cenderung lebih menyenangi menjadi kaum-kaum berdasi
berkantor gedung pencakar langit, menjadi buruh-buruh pabrik yang setiap tahun
berdemo menuntut kesamaan dan kelayakan Upah Minimum Regional (UMR) dan juga
menjadi pegawai negeri. Lebih tepatnya bangsa kita
saat ini lebih menyenangi menghamba pada mereka
yang bermodal.
Penelitan apik oleh Charles Scrciber memaparkan, keberhasilan seseorang yang ditentukan oleh
pendidikan formal hanya sebesar 15 persen saja
tetapi selebihnya (85 persen) ditentukan oleh sikap mental atau
kepribadian seseorang. Sangat disayangkan bila limpahan sumber daya alam negeri
ini tidak kita kelola sendiri, tetapi justru kita limpahkan ke tangan asing.
Maka dari itu sudah sepatutnya kita menyingsihkan lengan baju dan bangkit untuk
mengambil peran dalam mengelola kekayaan alam kita, sebagai mahasiswa kita
harus jeli memanfaatkan peluang yang ada.
Salah
satu hal yang bisa kita lakukan adalah berwirausaha.
Dalam sebuah penelitian mengatakan, negara maju memerlukan sangat banyak unit
usaha, dan kita harusnya diuntungkan dengan posisi kita yang berada di tanah
subur makmur berlimpah kekayaan alam ini. Patutlah kita mulai berwirausaha,
mengelola tanah kita sekaligus membuka lapangan-lapangan kerja. Tidak usah lagi
menuntut di sediakanya lapangan kerja, namun kitalah yang mencipta lapangan
kerja.
Sudah
diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI
Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.
Ketetapan itu berbunyi: “Mendayagunakan sumber
daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya
masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan
undang-undang”. Kita layak
menyuara dan berkarya, sekali lagi untuk Indonesia.
Achmad Ulil Albab