ORASI DALAM AIR. Karya ; mail |
Suatu pagi smartphone saya berdering berkali-kali. Saking banyaknya pemberitahuan dari salah satu group whatsapp yang saya ikuti, deringnya semakin tak beraturan. Rupanya, beberapa anggota group tersebut sedang diskusi soal teknik public speaking. Mereka beberapa kali saya amati saling beradu argumen dan saling menguatkan dirinya masing-masing.
”Kadang ya, orang yang pintar itu
mempunyai kendala dalam komunikasi. Sehinga dia tidak bisa menjadi pentransfer
ilmu yang baik. Tetapi, kebanyakan orang tidak mengerti dan malah disangka
bahwa pelit ilmu,” ungkap salah satu anggota group yang menjadi pemantik
diskusi hangat pada pagi itu.
Cukup panjang diskusi itu berlangsung. Saya
hanya mengamati sembari menyantap menu sarapan nasi pecel dengan toping telur
dadar dan segelas teh panas. Di tengah-tengah kesendirian saya bersarapan itu,
ada salah satu anggota lain di group yang sama nyeletuk soal retorika.
Dia terlihat begitu yakin dalam berargumen soal retorika. Meskipun sebenarnya
dia sendiri paham atau tidak yang dia sampaikan itu.
Ketika saya menyecap teh panas, tiba-tiba
saya teringat dengan mata pelajaran retorika yang diajarkan salah satu guru
sewaktu masih di bangku kelas X Madrasah Aliyah. Saat itu, pertama kali saya
mengenal retorika.
Sejarah retorika pada masa Yunani lahir
sebagai seni yang dipelajari dan ada sejak abad 5 SM. Yaitu ketika Kaum Sophis
Yunani mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan pengetahuan
tentang politik dengan penekanan terutama pada kemampuan berpidato. Pada waktu itu, retorika memiliki
beberapa fungsi (Sunarjo, 1983:55). Pertama, untuk mencapai kebenaran atau
kemenangan bagi suatu pihak. Kedua, untuk meraih kekuasaan. Ketiga, sebagai alat
persuasi yang digunakan untuk mempengaruhi orang lain.
Saya masih ingat, saat itu kami diharuskan
untuk menghafal tokoh-tokoh retorika pada masa Yunani. Mereka adalaha Georgias
(guru retorika pertama), Protagoras, Sokrates, Isokrates, Plato, Aristoteles,
Corax, dan Demosthenes. Setiap dari mereka mempunyai ciri khas masing-masing,
baik secara metode maupun alirannya.
Dari sekian tokoh tersebut, Demosthenes adalah yang
paling saya ingat hingga saat ini. Kisahnya sangat menarik. Demosthenes
mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras.
Dengan cerdik, dia menggabungkan narasi dan argumentasi. Dia juga amat
memperhatikan cara penyampaian. Menurut Will Durant, Penulis Buku The Story
of Civilization, “Ia (Demosthenes) meletakan rahasia pidato pada akting (hypocricis).”
Demosthenes berlatih pidato sendirian di
depan cermin. Bahkan, dia membuat gua dan berbulan-bulan tinggal di sana,
berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, dia mencukur rambutnya sebelah,
supaya dia tidak berani keluar dari persembunyiannya karena akan diejek orang
lain. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan
tangan di atas dahinya seperti berpikir. Dan seringkali mengeraskan suaranya
seperti menjerit. Cara yang ditempuhnya itu ternyata mampu membuatnya menjadi
orator ulung, saat itu.
Saya juga teringat dengan orator-orator
Indonesia yang tak kalah sangarnya. Ada dua tokoh Indonesia yang sangat
saya idolakan. Pertama, Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto, pendiri
Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam. Selain unggul
dalam dunia perdagangan, dia juga unggul dalam beretorika.
Dia mampu melakukan konsolidasi dengan
berbagai pihak untuk bergabung dengan Sarekat Islam. Dalam Film Guru Bangsa,
sosok H.O.S Tjokroaminoto yang diperankan oleh Reza Rahadian, ketika berpidato
hampir seluruh audien terpukau dengan orasi-orasi yang dipersembahkan.
Kedua, yaitu Ir. Soekarno. Founding
father’s bangsa Indonesia yang merupakan murid H.O.S Tjokroaminoto itu
nampaknya memang dipersiapkan untuk meneruskan pergerakan dan perjuangannya
meraih kemerdekaan. ”Indonesia Menggugat” salah satu pidato Bung Karno yang
sangat fenomenal. Pidato pembelaan yang dibacakan Bung Karno pada persidangan Landrad,
Bandung (1930). Bung Karno bersama tiga rekannya yaitu Gatot Mangkupraja,
Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia
(PNI).
Saat itu, mereka dituduh hendak
menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda. Dari balik jeruji penjara, Bung Karno menyusun
dan menulis sendiri naskah pidatonya. Sebuah pidato yang berisi tentang keadaan
politik Internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah.
Pidato pembelaan ini lah yang kemudian menjadi satu dokumen politik menentang
kolonialisme dan imperialisme.
Saya juga ingat, beberapa hari lalu, saat
mengikuti maiyyahan bersama Cak Nun, dan diingatkan supaya mampu
berdakwah atau berorasi secara bijak. Sebagaimana dalam Al-Qur’an “‘ud’u ila
sabili rabbika bilhikmati walmauidlotil hasanati wa jaadilhummbillati hiya
ahsan” (Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah dengan cara yang lebih baik,” An- Nahl; 125).
Untuk menjadi orator ataupun public
speaker yang baik, alangkah baiknya teman-teman yang di group tersebut
meniru metode beberapa tokoh di atas. Metode Demosthenes nampaknya dapat kita
adopsi, yaitu berlatih dan mematangkan kompetensi diri secara mandiri tanpa
perlu diketahui orang lain. Memperbanyak ilmu melalui bacaan-bacaan seperti
Bung Karno dalam pengasingan juga bisa kita tiru.
Dengan ilmu yang telah kita miliki, dengan
sendirinya kita akan mampu menebar kebaikan di mana-mana. Janganlah melampaui
batas ketika sedang berada diatas panggung atau podium. Saat ini, rakyat butuh
orang-orang yang bisa menebar kebaikan lewat panggung-panggung dakwah. Bukannya
malah membusungkan dada lebar-lebar sambil berteriak lantang, Takbir!!! Saja.
Keilmuan yang kita miliki tidak sepatutnya
digunakan untuk kepentingan-kepentingan negatif yang terselubung. Berdakwah
dengan cara hikmah (bijaksana) bukanlah dakwah yang berisi
profokasi-profokasi yang berpotensi memecah belah bangsa. Melainkan, berdakwah
dengan tujuan menyejukkan semua golongan. Serta menebar pesan-pesan toleransi
dalam bernegara. Wis ah, wis bar sarapanku. hehe[]
*Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus Semester 5)