Foto: Anis Sholeh Ba’asyin, Kh. Dr. Abdul Ghofur Maimoen dan Budi Maryonodalam
Suluk Maleman "Ingatan Para Pelupa”di Rumah Adab
Indonesia Mulia, Sabtu (20/1) kemarin.
|
PARIST.ID, PATI- Dr. Abdul Ghofur Maimoen atau yang
karib disapa Gus Ghofur menilai jika permasalahan ummat dan bangsa sekarang ini
lantaran telah kehilangan rasionalitasnya. Hal itulah yang seringkali menjadi
banyaknya permasalahan dan konflik.
Pernyataan menggelitik itu
diungkapkan putra kyai sepuh Maimoen Zubair, Rembang, saat membuka pengajian budaya
Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia Sabtu (20/1) kemarin.
Pria lulusan pendidikan Mesir
ini menyebut, ciri ummat yang telah kehilangan rasionalitas seringkali
memikirkan hal yang remeh-remeh sehingga justru banyak meninggalkan yang lebih
besar. Tingkat kehilangan
rasionalitas itu bahkan diakuinya sudah masuk ke tataran yang begitu berbahaya.
“Sebisa-bisanya kita harus
memasukkan bukan justru mengeluarkan. Tapi pada kenyataan sekarang ini justru
sebaliknya,”ujarnya.
Hal itu dicontohkannya seperti
adanya ummat yang mengkafirkan sesama muslim. Hal itu tentu berbeda jauh dengan
dakwah orang-orang yang terdahulu. Orang dahulu dinilainya sangat terbuka dan toleran oleh
karena itu dirinya menyesalkan ummat sekarang ini yang terkesan tertutup pada
sesuatu yang baru.
“Jumlah ummat Islam itu
banyak, tapi malah dikafir-kafirkan sendiri. Itukan justru mengurangi. Ada ummat
yang datang ke masjid tapi justru saat mendengar dakwahnya terkesan
marah-marah. Indonesia bisa menjadi negara mayoritas karena suka memasukkan bukan
malah mengeluarkan,”tegasnya.
Menurutnya, ilmu fiqih
seharusnya tentang bagaimana mencari solusi yang mudah tanpa keluar dari
syariat. Dirinya juga mengingatkan jika nabi membenci orang yang mengikuti
sesuatu secara buta.
“Menghukumi halal dan haram itu
sesuatu yang mudah. Tapi bagaimana kita mengajak pada kebaikan namun dengan
cara yang baik,”ujarnya.
Sesuatu yang patut dipelajari
dari orang terdahulu, dikatakannya seperti tentang sikap terbukanya. Bahkan di
era kekalifahan terdahulu banyak sumber-sumber ilmu baru dari luar yang
kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab. Bahkan lantaran banyaknya buku
terjemahan itu sampai bisa dibuat jembatan. Namun orang sekarang justru terkesan takut jika
ada sesuatu yang baru.
“Padahalorang yang tidak punya
ingatan tentang masa lalu akan mudah dipengaruhi. Karena tentu orang tersebut
tidak punya jati diri,”ujarnya.
Anis Sholeh Baasyin, budayawan
sekaligus penggagas Suluk Maleman mengatakan, sekarang ini sejumlah tokoh
nampak seolah-olah terlihat saling bertentangan. Padahal ada garis merah yang
sebenarnya memiliki tujuan yang sama.
“Sebenarnya kuncinya satu,
silaturahim. Itu yang tidak dijalankan. Padahal pertemuan itu dibutuhkan untuk
menyatukan perbedaan agar ada kesesuaian dan keselarasan,”ujarnya.
Bahkan di era wali jaman dulu
juga seringkali terjadi perbedaan pendapat dan pandangan. Hanya, hal tersebut
selalu bisa terselesaikan dengan solusi terbaik karena selalu bermusyawarah.
“Tapi sekarang ini yang
terlihat justru soal
menang dan kalah,”tambahnya.
Tak hanya itu, dia juga
mengatakan jika sekarang ini banyak orang yang tidak bisa menangkap nilai-nilai
beragama. Orang tidak akan bisa merasuk jika hanya melihat sesuatu dari
kulitnya saja.
“Sebenarnya masih tidak
apa-apa jika baru bisa menangkap kulitnya tapi jangan sampai memaksakan ke
orang lain,”tegasnya.
Hangatnya diskusi tersebut
itupun turut diwarnai dengan pementasan Orkes Puisi Sampak GusUran. Meski sempat diguyur hujan
deras, namun ratusan peserta tetap antusias. (Ulil)