Ini sesungguhnya dongeng gila. Tak seharusnya didengar apalagi diperbincangkan sebelum tidur. Tentang perawan yang
digilai seluruh bujang desa Swastamita. Ia memiliki segalanya. Separuh harta
milik Fir’aun kira-kira ia kuasai. Lekukan tubuhnya pun bagai seni terindah di
dunia. Ah ia menjelma ratu bagi penduduk Swastamita. Baiklah, semua
bermula sebelum ada bulan kedua. Tidak perlu repot-repot menyiapkan akal. Bersilalah bersamaku
sambil mereguk kopi dan dengarkan kepahitannya.
*
“Mangata, umur Abah tidaklah lama. Bila Abah sudah
tiada, kau lekaslah menikah,” suara serak Djarko mengudara bersama kepulan asap
rokoknya.
Paru-parunya sudah hampir meledak namun ia tetap hobi
mengisap rokok. Sebenarnya ia tidak enak bila menghanguskan harta perawannya
secara perlahan. Djarko tahu, tidak ada penjual rokok gratis.
Mangata tidak mengubris. Ia terlalu sibuk dengan
lembaran uang dan kepingan emas. Hingga akhirnya Djarko memilih diam. Laki-laki tua
itu hanya tak sudi bila terlalu banyak bujang mencuri pandang keelokan putrinya.
Namun tenang saja, kau tidak usah khawatir. Kau akan tahu sifatnya
saat ada
kerumunan yang datang ke rumah membawa baki-baki kecil semacam lamaran. Satu
laki-laki penting yang hendak menanyakan perawan milik Djarko. Belum sampai
laki-laki itu duduk di sofa empuk milik Mangata, ia dihujani usiran siempunya
rumah. Alhasil, laki-laki itu mau tidak mau mengurungkan niat melamar perawan
Djarko. Padahal, ia adalah seorang sarjana anak kepala desa sebelah.
Bukan hanya satu bujang saja, dua, lima bahkan belasan
yang Mangata tolak. Alasannya sederhana, ia tidak ingin menikah dan tidak ingin ada yang menganggu hartanya.
Pernah, saat malam hari ada pengemis menghampiri ke rumah—mewah bak
istana di tengah desa—perawan itu untuk meminta segenggam beras. Namun
kelihatannya pengemis lari terbirit-birit dari rumah istana yang ternyata
baginya seperti neraka. Benar saja,ia pulang dengan segenggam
cibiran dan olokan Mangata. Bajunya jelek, kata Mangata.
Sebelum malam menggurita, pengemis itu mati
kelaparan. Badannya kering kerontang tinggal kulit dan tulang, seluruh nafasnya
menghilang. Sayangnya, aku
lupa
mengingatkan Mangata untuk berbaik hati pada sesama manusia—pada pengemis
itu. Sebagai Abah, Djarko hanya bisa mengelus dada melihat
bidadari cantiknya bersikap iblis.
“Apa? Sudah takdirnya dia mati, itu bukan urusanku,”
ujar Mangata saat dimintai sumbangan kematian si pengemis.
Bibir mawarnya berucap ketus dan mengiris hati
seseorang. Namun siapa yang tak ingin merasakan kesegaran bibir Mangata?
Bagaimanapun watak perawan kaya ini, para bujang tak lelah berjuang mendapatkan
hatinya.
*
Percayakah bahwa suatu musim panas di
Swastamita, perawan yang aduhai itu jatuh cinta pada satu bujang? Ia datang
dari tanah Abang, kemudian merasuki jiwa Mangata. Matanya yang
teduh berlabuh di hati perawan pujaan para bujang. Mangata setengah gila—ulah
bujang itu yang tak henti berlarian dalam fikirannya. Padahal ia hanya memakai
baju koko dan bersarung layaknya seorang santri. Namun bukan itu yang Mangata
kagumi.
“Semestapun mencatat bahwa akhirnya aku jatuh cinta,”
bisik Mangata mengusap wajah abahnya yang kini hanya ada dalam pigura. Ia
menangis kali pertama setelah bumi menelan Djarko. Air matanya berguguran mengingat begini.
Beberapa orang memasuki pagar besi yang
menjulang tinggi. Depan tembok putih dengan arsitektur mirip belanda nampak
didesaki oleh tratak hijau kampungan. Bendera kuning berkibar syahdu di
ujung pagar dekat pohon rambutan milik Djarko. Siapa lagi yang meninggal di
rumah itu kalau Mangata masih hidup? Beberapa saat setelah proses pemakaman
mayat Djarko, seseorang mendekati Mangata.
“Dik Ata, bersabarlah. Barangkali harta berharga dik
Ata telah kembali pada Tuhan,” tutur
seorang laki-laki yang membuat hati Mangata meleleh.
Dari puluhan bujang yang ingin merasakan hangat
tubuhnya, hanya laki-laki itulah yang hampir dipeluknya. Namun diluar dugaan,
ia justru melangkah mundur dan membagi jarak dengan Mangata. Sebenarnya,
Ghaftra pun tau perihal keindahan dan kekayaan Mangata. Hanya saja ia lebih
menghormati seorang perempuan bagaimanapun wataknya. Kau tahu? Mangata terkejut
kala mendapati bujang yang menolak kesempatan emas yang jarang ia berikan.
Mangata merasa malu pada rupa hitam manis itu. Namun sepertinya ada benih yang
tiba-tiba tumbuh di hati. Semenjak itu, Mangata jarang keluar dari daun pintu
mahalnya.
Kata tetangga sekitar, Mangata terlalu larut dalam
kesedihan kematian Abahnya jadi ia mengurung diri. Kabar angin juga sempat
terdengar bahwa Mangata ingin bunuh diri karena sudah tidak memiliki kerabat
yang mau tinggal bersamanya. Atau perawan itu diam-diam menikah siri dengan
hartanya? Ah, setahuku Mangata sering berteriak saat langit berwarna hitam
pekat. Begini ceritanya.
“Ah!! Siapa kamu? Berhenti meleceti tubuh indahku!!”
teriak Mangata mencoba melepaskan tubuhnya dari lilitan seekor ular raksasa.
Kepalanya seperti cobra, gigitannya seperti phyton dan bisanya mematikan—namun Mangata
tidak mati setiap tetesan bisa menyentuh dagingnya, hanya merasa kesakitan yang
luar biasa.
“Lepaskan!! Tubuh indahku bisa lecet semua gara-gara
lilitanmu!”
“Katanya engkau menyayangiku, Mangata cantik? Mengapa
sekarang kau menyuruhku untuk melepasmu?”
“Tidak ada yang bilang aku menyayangi ular jelek
sepertimu! Argkh!!” teriak Mangata kesakitan.
“Kau salah, Mangata. Aku adalah emas yang tiap malam
kau ajak tidur sebelum pengemis itu mati. Aku juga adalah rumah istanamu yang
orang-orang tidak boleh menyentuhku. Terkadang aku menjadi Abahmu, namun kau
tidak menyadarinya. Ya, aku hartamu,” desis si ular tepat di telinga Mangata.
Lilitannya semakin erat. Dada Mangata menyesak.
“Abah..”
Ada keresahan di hati nurani si perawan pelit.
Mendadak ia kacau balau bagai badai topan. Hingga sudut matanya menitikkan
darah. Dalam sekejap, ular raksasa itu tenggelam bersama air mata Mangata yang
bewarna merah. Mangata berjalan terseok-seok diatas lantai darah buatannya.
Benarkan? Ini hanya dongeng gila. Pasalnya ini adalah mimpi buruk Mangata kali kedua yang tidak
seharusnya kuceritakan. Pamali. Bisa saja lain waktu ular itu datang ke dalam mimpimu kemudian
melilitmu!
*
“Kang Ghaftra? Ada apa pagi-pagi menyuruhku datang ke sini?”tanya
Mangata memperhatikan raut wajah laki-laki yang tampak bijaksana itu.
Ghaftra diam, ia membiarkan Mangata menikmati
kupu-kupu yang terbang di hadapan mereka. Bebunga mekar. Kamboja masih berwarna
putih kekuningan, mawar semerah bibir Mangata, melati masih seputih hati
Ghaftra dan embun bening tak bewarna. Ada pohon rindang yang tumbuh di hati
mereka.
Mangata sudah lama sekali tidak di taman karena tak
memiliki teman. Pun malas digoda para bujang. Alhasil, ia bekerja hanya di
kamar yang melahirkan berjibun uang.
“Hanya ingin melihat bunga denganmu saja. Apa kau
keberatan?” tanya Ghaftra
“Tidak,”
“Aku sudah membaca artikelmu minggu ini. Jangan
bersedih, kematian itu tidak bisa dialarm,”
“Yang kubutuhkan adalah pengunjung websiteku. Bukan menceramahi tulisanku,” jawab Mangata
ketus, menyembunyikan perasaan aslinya.
“Bila aku ingin melamarmu, apa kau keberatan?” tanya
Ghaftra membuat perawan itu kaget setengah mati.
Alasannya, Ghaftra ingin mengubah sifat
buruk Mangata dalam pernikahannya kelak. Namun saat ini, ada yang benar-benar
berlabuh—mata Ghaftra—di mata Mangata selepas ia berhenti memperhatikan kupu-kupu merah Swastamita. Dengan
cepat, Ghaftra menurunkan bola matanya. Ia takut terhipnotis dengan rupa
bidadari milik Mangata. Sementara perawan yang digilai para bujang itu baru
pertama kali merasakan degup jantung yang berantakan dan hati yang berdesir. Mungkin saja,
dalam perut Mangata dan Ghaftra seperti taman yang dikerumuni kupu-kupu—konon
itu menandakan seorang jatuh cinta.
*
Kau masih ingat yang kuceritakan padamu perihal dengki
Mangata dan mimpi anehnya? Baiklah, seharusnya ini tak kuungkap lagi. Namun
sungguh perawan itu merasakan sakit yang luar biasa. Berulang kali kulit
punggungnya terbakar lalu terkelupas secara merata. Meleleh meneteskan nanah
dan darah lalu kembali lagi menjadi tulang dan daging. Ada yang menggilasnya. Sebuah setrika
dari neraka yang besarnya dua kali dari punggung Mangata. Perawan kaya—yang
membuat para bujang ngiler dengan keelokan tubuhnya—mengaduh kesakitan. Ia menjerit
di malam yang hitam pekat. Tetangga mengira Mangata berpenyakit jiwa. Padahal
ia sedang mimpi buruk, benar-benar buruk.
“Abah.. maafkan putrimu,” kata perawan itu sembari
menghujankan air mata.
*
“Aku tidak bisa tidur,” isak seseorang pukul 00.00.
Wanita berpiyama wolfis itu menekuk lutut di mulut
jendela. Nada suaranya parau, seperti cericip kelelawar yang masih bertebaran
di langit. Biasanya ia menimbang emas bila kantuk belum juga datang atau
memuntahkan tulisan semalaman yang berujung pada uang. Namun tidak untuk malam
ini. Sudah ada nafas lain di kamarnya.
“Bulan, bisakah aku menjadi bagianmu? Aku ingin
mencari Mak di sana. Dulu waktu aku umur lima tahun, Abah sering cerita kalau
Mak ada di bulan. Abah menyuruhku tidak usah bersedih dan meraih cita-cita agar
suatu saat bila Ata sudah sukses, Mak senang.” rintihnya memandang bulan
sembari menenggelamkan wajah diantara kedua lutut.
“Sekarang Ata sudah sukses, Mak! Kekayaan ini untuk
Mak! Hahaha,”
Tawa bercampur tangis bergemuruh riuh. Kamarnya yang sunyi,
membadai kencang. Mengobrak-abrikan seorang nahkoda yang sedang tidur di kasur
beledu milik wanita tadi.
“Dik Ata, hentikan!!” seru Ghaftra—pria yang
menahkodai rumah tangga Mangata sejak minggu lalu.
Pria itu meraih tangan Mangata yang berkecamuk melayangkan
vas-vas bunga. Pohon-pohon rindang di hati Ghaftra mulai meneduhkan jiwa
kekasihnya. Tubuh kekar itu menghangatkan segala yang dingin—termasuk Mangata.
Sekarang kau tahu, perawan yang digilai para bujang itu sudah menjadi milik
seseorang. Mungkin aku tidak akan bercerita kisah terlarang lagi. Namun
parahnya, tetangga mengira bahwa teriakan tadi itu sebab dari pertengkaran
rumah tangganya. Padahal Mangata sedang sakit jiwa. Sebaiknya,
kutuntaskan dongeng gila ini.
*
Suatu siang, Djarko duduk sembari menyanyikan lagam
jawa dengan suara serak yang mengudara bersama kepulan asap rokoknya. Mukanya
sedikit pucat pasi seperti sedang sakit berhati-hari. Rencananya ia akan
mengajak perawannya jalan-jalan.
“Abah memang sudah lama sekali tidak mengajakku keluar
rumah, sampai mobil sepuluh milyar yang kuberi itu tak ada gunanya!” kata
Mangata sambil tertawa.
Djarko tersenyum lembut kemudian menggerak-gerakkan
tangannya sebagai isyarat untuk jalan kaki saja. Mangata mengangguk faham dan
tertawa lagi dengan tingkah Abahnya yang seperti pantomim. Sebelum menikah,
Mangata tak pernah tertawa lepas seperti ini. Mangata lupa meminta izin kepada
suaminya sebelum keluar rumah. Namun sepertinya Ghaftra sudah tahu bila Mangata
hendak jalan-jalan di sekitar desa.
Hingga adzan maghrib, Mangata belum kembali di rumah
istananya. Ghaftra berkeringat dingin, takut terjadi sesuatu pada kekasihnya
yang aduhai sempurna. Ia mencari ke seluruh rumah di Swastamita. Alhasil, ada
seorang yang mengatakan wanita—yang dicari Ghaftra, Mangata—menuju pesisir laut
Swastamita. Sontak laki-laki hitam manis itu bergegas ke pesisir laut.
Sementara warga membantu mencari Mangata. Mereka memukul-mukul kentongan,
sedang para wanita memukul panci agar menimbulkan suara yang berisik.
Konon, seseorang yang belum kembali ke rumah sampai
maghrib tanpa kejelasan maka ia diculik oleh makhluk ghaib. Maka mereka akan
membuat bunyi yang gaduh agar para dedemit mengembalikan korbannya. Perlu kau
ketahui juga, perihal mitos ini disebarkan oleh tetangga dekat Mangata.
Padahal, perawan desa itu sedang berjalan menuju bulan.
“Mangata!! Dimana kamu?” teriak Ghaftra pada
gerombolan air laut.
Langit alam berubah menjadi warna merah. Spektrum
warna yang ciamik itu disebut sebagai senja oleh warga Swastamita. Padahal,
waktu ini menghampiri frekuensi jin dan para iblis. Mereka amat bertenaga
karena mereka resonan dengan alam. Di saat ini, suami Mangata seharusnya menyembah Tuhan dan
meminta kebaikan untuk keluarga kecilnya.
Namun Ghaftra masih saja linglung di serambi laut.
Pria hitam manis itu hampir tak percaya dengan omongan wanita yang melihat Mangata menyusuri pesisir laut Swastamita.
Hingga ia lari terbirit-birit meneriakan nama Mangata, seolah telah ditemukan.
Sekelebat bayang muncul di laut serupa cahaya. Lebih terang dan lebih oval dari bulan. Ghaftra
merekam panorama indah itu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Aku akan mengatakan bahwa banyak fatamorgana yang terjadi pada waktu ini. Alhasil, menyulitkan pandangan mata Ghaftra
dan warga setempat ketika melihat sosok Mangata yang cantik, terlihat seperti
jalan di atas lautan. Cahayanya berpendar seirama lekukan tubuhnya. Cahaya itu
membisiki telinga Ghaftra.
“Aku indah seperti bulan. Maka, aku
ingin menjadi bulan. Bila bulan telah menjadi bulan, maka biarlah aku menjadi
bulan yang kedua. Bulan adalah tempat tinggal Mak, Abah, dan pengemis yang tak
kuberi beras. Bila suatu hari nanti Kang Ghaftra mencariku, lihatlah ke laut
Swastamita pada malam sebelum hitam pekat. Ada pantulan cahaya bulan yang tidak
pernah terjadi sebelumnya. Itulah aku.. Mangata,”
*
Hingga sekarang, Mangata masih digilai para bujang
untuk merayu gebetan. Sudah kubilang, ini hanya dongeng gila yang tak seharusnya menjadi
pengantar tidur. Tapi tidak salah bila kau ingin mencari tahu tentang Mangata yang
sebenarnya. Dalam dongeng
ini hanya fatamorgana. Sekarang kau boleh terlelap dengan tertawa atau menangis
sendirian, karena akulah Djarko.
***