Beberapa tahun sebelum dekade ketujuh, Somma tertidur
pulas. Tak ada yang berani membangunkannya. Hingga tepat pada satu tahun
sebelum dekade kedelapan ia seperti kesurupan.
*
“Ibu, nanti kalau panen gandum, kita membuat kue dan
biskuit yang banyak ya!” seloroh anak kecil Italia bernama Pliny kepada Ibunya.
Sang ibu menyimpulkan senyum. Gandumnya pasti menguning.
Ia menjamin kesuksesan ladang yang digarapnya. Memang, di sepanjang pantai Teluk Napoli tanahnya sangat subur. Hamparan
ladang gandum dan kebun anggur milik masyarakat terbentang luas di dua kota,
Pompe dan Herculane. Anggur yang ditanam pun buahnya selalu lebat dan segar.
Petani tak pernah rugi.
Sebenarnya beberapa mereka telah menyadari sebuah
ancaman di tengah kesuksesan berladang. Namun makhluk yang bernama manusia tak
pernah merasa cukup. Mereka selalu menanam, memanen dan menginginkan hasil yang
lebih. Tak terkecuali dengan Ibu si anak kecil Italia. Ancaman begitu murka dan
ironis, namun manusia adalah makhluk serakah terbaik di dunia. Semua akan
baik-baik saja, katanya.
*
Mungkin Somma mulai tak nyenyak dari tidurnya. Ia gusar,
selimutnya tak setebal dulu. Ia berdehem, kemudian disusul batuk yang
menggoyangkan seisi ranjang. Tak ada yang peduli, semua menghiraukannya. Somma
yang terbangun. Malang seperti kesurupan.
Beberapa teman setelahnya, pernah terbangun dengan
mengerikan. Selimutnya dikencingi kecoa dan dipenuhi tikus yang hina. Temannya
bernama Muria. Ia sangat tidak suka dengan aroma alkohol, perjudian dan hal
keji lainnya. Begitulah sifat Muria, menyukai ketentraman jiwa. Hingga suatu
hari diusik oleh hal-hal tersebut – tikus dan kecoa – ia terbangun dengan marah
yang berkobar. Emosinya meletup tak kenal ampun.
Ada salah satu teman Somma yang bernama Helena. Ia
begitu tangguh, lembut dan penyabar. Namun kesabaran Helena hilang ketika
seseorang menganggunya. Beberapa orang berusaha mencari tahu tentang
kesehariannya. Karena yang orang-orang tahu, Helena selalu berpenampilan cerah
dan menarik untuk dipandang. Helena tak mau hal pribadinya dicuri tahu oleh
orang lain. Sabar yang di emban Helena pupus.
Meski ia penyabar, Helena tidak seperti Somma. Ia
meluapkan emosinya dengan menumpahkan bubur merah yang baru saja mendidih
kepada orang-orang tersebut. Helena tak segan menghancurkan tempat rekreasi,
jembatan, rel kereta api, dan rumah-rumah. Ketika Helena terbangun lagi,
orang-orang malah tertarik menjadikannya model untuk sesi pemotretan. Malang
sudah nasibnya.
Namun Somma berbeda, ia sangat sensitif. Kemarahannya
mungkin lima kali lipat dari teman-teman sebelumnya.
*
Bulan Agustus tahun 97 M, Pliny ketakutan. Sejuk yang
tiap hari ia hirup, tiba-tiba beraroma abu vulkanik. Hari pertama Agustus, ia
berlari menuju Ibunya di ladang. Air mukanya gelisah. Ibunya memandang tak
mengerti. Satu sampai dua hari, Pliny merasakan demikian. Hingga sang ibu turut
merasa tak wajar dengan ladangnya. Gandumnya belum juga menguning. Bahkan
beberapa petak ladang terpecah dari kelompoknya.
Anak Italia itu memandang Vesuvius. Puncaknya menjulang
ke langit. Berdiri kokoh dengan akar-akar yang menancap kuat. Kaki-kakinya
seperti selimut yang dipenuhi dengan ladang-ladang gandum dan anggur. Namun
kali ini Vesuvius meledakkan gas dan abunya. Reruntuhan bebatuan dan batu apung
baru yang berkilauan dilontarkan ke atmosfer. Namun, untung angin membadai
mengarah ke kota Pompe. Seperti pertunjukan awan kelabu yang menyerupai pohon
pinus menjulang tinggi. Mengerikan. Di luar dugaan, Vesuvius telah terbangun
secepat ini.
Ancaman itu datang. Ibu Pliny segera menjauh dari
ladang. Semua penduduk Herculane berlarian, mencari perlindungan.Untunglah kota
tersebut hanya terkena semburan abu yang tipis karena arah angin yang
berlawanan. Namun kasak-kusuk terdengar dari orang yang berasal dari Pompe.
Katanya, kota Pompe sudah ludes. Tembok besar Pompe yang melindungi sekeliling
kota dikalahkan oleh dahsyatnya Vesuvius.
“Ayah!!!” teriak
Pliny di tengah hiruk pikuk penduduk yang mencari tempat aman.
Ibunya memeluk Pliny erat sekali. Harta yang dipunyainya
dilahap oleh Vesuvius. Ayahnya bekerja
di kota Pompe. Sementara kota itu dihujani bara , abu dan batu apung yang
menumpuk dengan ketinggian 15 sentimeter per jam. Air mata pun menghujani pipi
Pliny dan sang ibu.
“Suamiku, setidaknya kau beri nama dulu putri yang di
rahimku!!” isak wanita yang memeluk Pliny. Pakaiannya lusuh, berantakan.
Perutnya yang buncit menahan sakit.
Langit siang dan malam sama saja kelam. Sinar mentari
dihalangi abu, semua berhamburan ketakutan. Malamnya, Vesuvius memuntahkan
magma kaya gas yang mengisi gumpalan abu membumbung tinggi. Kemudian massa debu
dan gas yang tergantung di puncak gunung perkasa itu runtuh. Aliran piroklastik
yang besar muncul membakar aliran abu panas. Akibatnya, gelombang gas keluar
dari puncak Vesuvius dan bergulung ke Herculane.
Sepanjang malam, aliran-aliran itu terus saja bergerak
melewati kota. Vesuvius menguburnya di bawah reruntuhan vulkanis yang membara.
Terkadang bentuk awan abunya seperti jamur, spagethi atau pohon pinang yang
menjulur ke langit.Herculane hancur tak tersisa. Pliny dan sang ibu kehilangan
ladang, harapan membuat kue dan biskuit. Nyawa sang ibu lenyap dimurka Vesuvius
Sepertinya, Vesuvius cenderung mengeluarkan paksa gas
berabu dalam jumlah besar. Lalu dilepaskan secara dahsyat menyerupai kembang
kol, jamur atau kadang pohon beringin. Ia adalah Vesuvian, letusan
berapi Vesuvius.
*
Somma benar-benar terbangun seperti kesurupan. Ia
mengamuk setelah gelisah dalam lelapnya. Tepat pada 24 Agustus 79 M, ia
menghancurkan selimutnya – ladang gandum dan kebun anggur – yang di
lereng-lereng di kakinya. Ia berhasil mengubur dua kota dengan jumlah milyaran
manusia. Dua kota itu terkubur dalam batuan apung yang dilapisi dua sampai tiga
meter tumpukan piroklastik.
Seperti penyihir, Somma mengerahkan keajaibannya.
Menggoncang daratan dan memanggil tsunami raksasa untuk menghisap air dari
pelabuhan-pelabuhan. Ia serupa neraka. Memuntahkan lava, menyemburkan lahar,
menyiksa manusia. Hei, Somma tidak bersalah. Teman-temannya pun tak bersalah.
Para gunung di penjuru dunia tak pernah salah jika ia terbangun dari lelapnya.
Manusia adalah makhluk berbakat untuk serakah. Somma
hanya tak suka, mereka terlalu bersemangat tanpa mau menanggung akibat. Somma
mempunyai impian sederhana, tidak lebih menemui manusia yang tahu berterima
kasih. Meskipun ia hanya sebuah gunung berapi yang dijuluki Vesuvius.
*
End_
Oleh: Shoma Noor Firda Inayah