ilustrasi: asna |
Setiap akhir periode, Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa)
selalu menjadi perbincangan hangat kalangan mahasiswa dari berbagai kampus.
Agenda setahun sekali ini bertujuan untuk memilih Presiden Mahasiswa dan Dewan
Perwakilan Mahasiswa.
Pemilwa menjadi ajang yang bergengsi bagi sebagian
mahasiswa. Digadang-gadang sebagai representasi pemilihan umum di dunia nyata,
pemilwa dapat dijadikan tolok ukur kualitas mahasiswa. Pasalnya siapa pun yang
terpilih nanti bakal menentukan bagaimana masa depan kampus satu tahun
kedepannya.
Di IAIN Kudus, pemilwa tahun ini akan dilaksanakan pada
tanggal 6 Januari 2020. Meskipun masih dalam suasana pandemi, pemilwa akan
tetap dilaksanakan secara langsung dengan membagi Tempat Pemungutan Suara (TPS)
menjadi 16 lokasi. Padahal, pada tahun sebelum-sebelumnya jumlah tps hanya ada
6 lokasi. Untuk tahun ini diperbanyak dengan tujuan untuk mempersingkat waktu
dan menghindari adanya kerumunan saat pemungutan suara. Pihak Komisi Pemilihan
Umum Mahasiswa (KPUM) memberlakukan sistem offline karena menganggap pemilihan online sangat
rawan terjadi kecurangan dan manipulasi data.
Apakah relevan jika pemilwa tetap dilaksanakan saat itu
juga? Dengan sistem pemilihan secara langsung pada saat libur semester? Jika
mengaca pada tahun lalu yang juga dilaksanakan pada libur semester, pemilwa
dari tahun ke tahun seakan tidak ada kemajuan, baik dari segi proses maupun
gagasannya. Lantas apakah esensi dari pemilwa akan tercapai jika setiap tahun
tidak ada kebaharuan dan hanya meneruskan orang-orang lama?
Pemilwa memang selalu menyimpan cerita menarik setiap
tahunnya. Bagi mahasiswa apatis (pasif), pemilwa hanya ditanggapi sebagai hal
yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak peduli. Mereka lebih suka
memikirkan atau menghabiskan waktu untuk urusan dan kepentingannya sendiri.
Bagi mahasiswa oposisi atau mahasiswa yang sok kritis.
Mereka lebih cenderung mengkritisi apapun yang menjadi sisi negatif dari
pemilwa. Tanpa disisipi masukan-masukan
yang membangun atau saran ke arah perbaikan bersama.
Ada juga yang mendukung penuh diselenggarakannya pemilwa
ini. Mahasiswa yang berusaha bijak dengan memanfaatkan hak suaranya sebaik
mungkin, dan berharap kandidat yang dipilih dapat memberikan perubahan yang
berarti untuk kemajuan kampus.
Sebagai pesta demokrasi mahasiswa, pemilwa akan rentan untuk
dijadikan ajang kontestasi politik bagi
pihak-pihak tertentu. Maka, harus ada kejelasan mengenai teknis pelaksanaanya,
terutama dalam proses perhitungan suara. Selain itu, tidak boleh ada kerjasama
antara calon kandidat dengan pihak penyelenggara, sehingga
kemungkinan-kemungkinan terjadinya manipulasi data atau settingan dapat
dihindarkan. Tidak penting calon kandidat atau panitia berasal dari organisasi
atau kelompok mana, asalkan ia mampu menjalankan tugasnya dengan jujur dan
transparan. Yang terpenting harus dapat dipertanggungjawabkan.
Kembali Tinjau ulang
Kembali ke persoalan di atas, penyelenggaraan pemilwa pada
tahun ini memang perlu ditinjau ulang. Baik itu dari sistem pemilihannya, proses
kampanye, hingga teknis perhitungan suaranya. Bagaimana panitia dapat
mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Bagaimana mahasiswa dapat menggunakan hak pilihnya
secara utuh. Atau bagaimana menyelenggarakan pemilwa secara daring.
Jika mengaca pada sistem pemilwa di kampus-kampus lain yang
sudah lebih dulu menerapkan pemilwa daring, sudah selayaknya sistem daring
perlu dipertimbangkan untuk tahun depan. Mengingat kemajuan teknologi yang
semakin pesat, pemilwa secara daring dipandang lebih efektif dari segi manapun,
untuk kondisi sekarang. Meskipun dalam menjalankannya memerlukan persiapan yang
lebih matang. Seperti memperkuat keamanan untuk menghindari manipulasi data,
bekerjasama dengan pihak TIPD bisa menjadi alternatif.
Sistem pemilwa daring dirasa dapat mempersingkat waktu,
tempat, biaya, dan lebih efektif untuk menjaring hak suara mahasiswa. Meskipun
dalam proses kampanye, calon kandidat akan sedikit kesulitan karena kebanyakan
mahasiswa baru dan mahasiswa awam belum mengetahui seluk-beluk kandidatnya,
apalagi soal dunia perpolitikan kampus.
Dengan kata lain, baik offline maupun daring punya sisi
kelebihan dan kekurangannya. Pemilwa offline dalam praktek dan prosesnya akan
lebih mudah, meskipun dari segi kampanye dan persiapannya membutuhkan banyak
waktu dan biaya. Sedangkan jika secara
online, juga masih butuh persiapan dalam hal IT.
Seperti yang sudah disampaikan di awal, pemilwa merupakan
cerminan kehidupan politik di dunia nyata.
Berhasil tidaknya penyelenggaraan pemilwa akan dijadikan tolok ukur
bagaiman mekanisme politik yang ada di kampus. Namun, tetap saja bergantung
pada pilihan masing-masing mahasiswa itu sendiri.
Pemilwa adalah hak semua mahasiswa. Apapun pilihannya, mahasiswa itu sendiri yang berhak menentukan. Mahasiswa bebas mau menggunakan hak pilihnya atau tidak asalkan mereka mempunyai dasar yang jelas. Entah itu mendukung, golput atau bahkan menolak adanya pemilwa. Pada dasarnya pemilwa bukan sekadar perebutan jabatan untuk satu periode saja, apalagi agar bisa dianggap keren. Lebih dari itu, pemilwa bertujuan untuk memilih pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana serta mampu tanggung jawab terhadap kepada seluruh mahasiswa. (Asnawi)