Best Viral Premium Blogger Templates

Pemilwa dan Nalar Berpolitik Mahasiswa

parist  id
Selasa, Januari 05, 2021 | 20:21 WIB

 

ilustrasi: asna

Setiap akhir periode, Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa) selalu menjadi perbincangan hangat kalangan mahasiswa dari berbagai kampus. Agenda setahun sekali ini bertujuan untuk memilih Presiden Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa.

Pemilwa menjadi ajang yang bergengsi bagi sebagian mahasiswa. Digadang-gadang sebagai representasi pemilihan umum di dunia nyata, pemilwa dapat dijadikan tolok ukur kualitas mahasiswa. Pasalnya siapa pun yang terpilih nanti bakal menentukan bagaimana masa depan kampus satu tahun kedepannya.

Di IAIN Kudus, pemilwa tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 2020. Meskipun masih dalam suasana pandemi, pemilwa akan tetap dilaksanakan secara langsung dengan membagi Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi 16 lokasi. Padahal, pada tahun sebelum-sebelumnya jumlah tps hanya ada 6 lokasi. Untuk tahun ini diperbanyak dengan tujuan untuk mempersingkat waktu dan menghindari adanya kerumunan saat pemungutan suara. Pihak Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) memberlakukan sistem offline  karena menganggap pemilihan online sangat rawan terjadi kecurangan dan manipulasi data.

Apakah relevan jika pemilwa tetap dilaksanakan saat itu juga? Dengan sistem pemilihan secara langsung pada saat libur semester? Jika mengaca pada tahun lalu yang juga dilaksanakan pada libur semester, pemilwa dari tahun ke tahun seakan tidak ada kemajuan, baik dari segi proses maupun gagasannya. Lantas apakah esensi dari pemilwa akan tercapai jika setiap tahun tidak ada kebaharuan dan hanya meneruskan orang-orang lama?

Pemilwa memang selalu menyimpan cerita menarik setiap tahunnya. Bagi mahasiswa apatis (pasif), pemilwa hanya ditanggapi sebagai hal yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak peduli. Mereka lebih suka memikirkan atau menghabiskan waktu untuk urusan dan kepentingannya sendiri.

Bagi mahasiswa oposisi atau mahasiswa yang sok kritis. Mereka lebih cenderung mengkritisi apapun yang menjadi sisi negatif dari pemilwa. Tanpa disisipi masukan-masukan  yang membangun atau saran ke arah perbaikan bersama.

Ada juga yang mendukung penuh diselenggarakannya pemilwa ini. Mahasiswa yang berusaha bijak dengan memanfaatkan hak suaranya sebaik mungkin, dan berharap kandidat yang dipilih dapat memberikan perubahan yang berarti untuk kemajuan kampus.

Sebagai pesta demokrasi mahasiswa, pemilwa akan rentan untuk dijadikan ajang kontestasi politik  bagi pihak-pihak tertentu. Maka, harus ada kejelasan mengenai teknis pelaksanaanya, terutama dalam proses perhitungan suara. Selain itu, tidak boleh ada kerjasama antara calon kandidat dengan pihak penyelenggara, sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadinya manipulasi data atau settingan dapat dihindarkan. Tidak penting calon kandidat atau panitia berasal dari organisasi atau kelompok mana, asalkan ia mampu menjalankan tugasnya dengan jujur dan transparan. Yang terpenting harus dapat dipertanggungjawabkan.

Kembali Tinjau ulang

Kembali ke persoalan di atas, penyelenggaraan pemilwa pada tahun ini memang perlu ditinjau ulang. Baik itu dari sistem pemilihannya, proses kampanye, hingga teknis perhitungan suaranya. Bagaimana panitia dapat mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Bagaimana  mahasiswa dapat menggunakan hak pilihnya secara utuh. Atau bagaimana menyelenggarakan pemilwa secara daring.

Jika mengaca pada sistem pemilwa di kampus-kampus lain yang sudah lebih dulu menerapkan pemilwa daring, sudah selayaknya sistem daring perlu dipertimbangkan untuk tahun depan. Mengingat kemajuan teknologi yang semakin pesat, pemilwa secara daring dipandang lebih efektif dari segi manapun, untuk kondisi sekarang. Meskipun dalam menjalankannya memerlukan persiapan yang lebih matang. Seperti memperkuat keamanan untuk menghindari manipulasi data, bekerjasama dengan pihak TIPD bisa menjadi alternatif.

Sistem pemilwa daring dirasa dapat mempersingkat waktu, tempat, biaya, dan lebih efektif untuk menjaring hak suara mahasiswa. Meskipun dalam proses kampanye, calon kandidat akan sedikit kesulitan karena kebanyakan mahasiswa baru dan mahasiswa awam belum mengetahui seluk-beluk kandidatnya, apalagi soal dunia perpolitikan kampus.

Dengan kata lain, baik offline maupun daring punya sisi kelebihan dan kekurangannya. Pemilwa offline dalam praktek dan prosesnya akan lebih mudah, meskipun dari segi kampanye dan persiapannya membutuhkan banyak waktu dan biaya.  Sedangkan jika secara online, juga masih butuh persiapan dalam hal IT.

Seperti yang sudah disampaikan di awal, pemilwa merupakan cerminan kehidupan politik di dunia nyata.  Berhasil tidaknya penyelenggaraan pemilwa akan dijadikan tolok ukur bagaiman mekanisme politik yang ada di kampus. Namun, tetap saja bergantung pada pilihan masing-masing mahasiswa itu sendiri.

Pemilwa adalah hak semua mahasiswa. Apapun pilihannya, mahasiswa itu sendiri yang berhak menentukan.  Mahasiswa bebas mau menggunakan hak pilihnya atau tidak asalkan mereka mempunyai dasar yang jelas. Entah itu mendukung, golput atau bahkan menolak adanya pemilwa. Pada dasarnya pemilwa bukan sekadar perebutan jabatan untuk satu periode saja, apalagi agar bisa dianggap keren. Lebih dari itu, pemilwa bertujuan untuk memilih pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana serta mampu tanggung jawab terhadap kepada seluruh mahasiswa. (Asnawi)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pemilwa dan Nalar Berpolitik Mahasiswa

Trending Now