Best Viral Premium Blogger Templates

Panggung Teater, Seni dan Polemik Kampus yang Tak Usai

parist  id
Jumat, April 01, 2022 | 07:41 WIB

Foto : Istimewa

Sebagai seorang yang tidak tahu menahu soal dunia teater dan seni peran, saya tidak akan berkomentar banyak terkait bagus atau tidaknya pentas produksi “Sumur Tanpa Dasar” yang dipentaskan oleh UKM Teater Satoesh IAIN Kudus. Tulisan ini hanya akan saya jadikan sebagai refleksi bagi diri saya sendiri, bagaimana saya bisa mendapatkan “bekal” dari apa yang telah saya tonton dari pementasan tersebut.

Pada Sabtu (26/03/2022) kemarin, Teater Satoesh mementaskan sebuah karya dari naskah populer berjudul “Sumur Tanpa Dasar.” Naskah yang kita tahu merupakan adopsi dari karya Arifin C Noer, seorang seniman kondang dalam dunia teater.

Bicara soal pementasan tersebut, saya sedikit menangkap pesan dari yang dibawakan oleh sutradara. Pentas bergenre surealisme yang diterapkan dalam dunia kampus, menyoal tentang bagaimana si pemeran utama, Jumena yang menjadi pemilik Yayasan sebuah kampus memiliki berbagai sifat dan karakter yang dekat dengan diri kita. 

Sosok Jumena yang diperankan oleh Fandi, tergambarkan dengan apik dari dialog dan akting yang diperankan. Meskipun karakter Jumena ini tidak diimbangi oleh pemeran yang lain, namun pesan yang dibawakan oleh Jumena melalui dialog-dialognya dapat saya tangkap dengan baik sebagai penonton. 

Terlepas dari komposisi keaktoran yang tidak seimbang, penggunaan musik yang tidak proporsional atau pencahayaan yang kurang pas, pentas ini bisa dibilang cukup terbawakan dengan rapi, dengan pementasan yang kurang lebih sekitar dua jam tersebut. 

Saya rasa, sifat-sifat buruk yang dibawakan oleh Jumena atau tokoh lain seperti sifat iri dengki, berprasangka buruk, pelit, kikir atau kapitalis dapat ditangkap oleh penonton sepakat bahawa sifat-sifat tersebut sebenarnya ada di dalam diri kita masing-masing. 

Polemik kampus

Sebagai salah satu organisasi mahasiswa, UKM Teater Satoesh cukup berani menyinggung isu-isu kampus dalam pentas tersebut. Sentilan-setilan semacam tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT), fasilitas kampus yang tak kunjung diperbaiki, atau kualitas kampus yang masih “begitu-begitu saja” cukup menarik bagi penonton yang kebanyakan dipenuhi oleh mahasiswa. Teater Satoesh seakan mewakili suara mahasiswa yang muncul dari mulut ke mulut, dari keresahan-keresahan yang selama ini dirasakan oleh mahasiswa. 

Meskipun, kita tahu bahwa ini hanyalah tontonan dari sebuah panggung teater, dan polemik-polemik kampus tersebut tak kunjung usai jika tidak ada tindakan nyata dari pihak kampus. Namun, pilihan teater Satoesh mengangkat isu kampus perlu diapresiasi, sehingga diharapkan dapat memantik pihak-pihak lain seperti BEM Kampus atau UKM lain untuk turut menyuarakan aspirasi mahasiswa. Sebab, kampus tanpa kritik tidak akan menghidupkan nalar kritis mahasiswa. 

Sayangnya, pentas produksi “Sumur Tanpa Dasar” ini kurang didukung oleh penonton yang “cerdas”. Banyaknya percakapan-percakapan dari beberapa penonton ketika pentas berlangsung cukup mengganggu telinga saya dan juga penonton lain.

Bisa dibayangkan, ketika penonton ingin fokus dan menikmati pentas ini, mereka menjadi tidak fokus dan tidak bisa menikmatinya saking ramainya obrolan-obrolan di baris belakang. Saya rasa, ini bisa menjadi catatan untuk Teater Satoesh yang bisa mengkondusifkan para penonton, atau kita yang seharusnya sadar diri untuk menghargai penonton lain yang ingin fokus menikmati sebuah pementasan teater.

Hasyim Asnawi, Paradigma Institute

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Panggung Teater, Seni dan Polemik Kampus yang Tak Usai

Trending Now