Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger Templates

Upaya Konservasi, Menghidupkan Kembali Potensi Muria yang Mati Suri

parist  id
Senin, Juli 11, 2022 | 21:32 WIB

 

Foto : Istimewa 

Kawasan Muria memiliki potensi alam luar biasa yang terus diupayakan kelestariannya. Telah ditetapkan dalam sidang ke-32 International Coordinating Council (ICC) Man and the Biosphere (MAB) UNESCO tahun 2020, Cagar Biosfer Karimunjawa Jepara Muria merupakan salah satu dari tiga cagar biosfer baru di Indonesia, totalnya Indonesia sendiri memiliki 19 Cagar Biosfer dengan luas 29.901.729, 259 ha dan telah menjadi bagian dari World Network of Biosphere Reserves (WNBR). (Kompas, 01/11/2020)

Pagi itu, Minggu (29/08/2021) kami berencana mengunjungi rumah Teguh Budi Wiyono, salah satu anggota Perkumpulan Masyarakat Pelindung Hutan (PMPH) di Desa Colo, Dawe, Kudus. Secara geografis, wilayah Desa Colo berbatasan langsung dengan hutan lindung Muria di sebelah utara. 

Sehingga dapat dikatakan masyarakat Desa Colo selalu berinteraksi dengan hutan karena sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari hasil hutan Muria. Menurut data Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), lebih dari 31 desa di Indonesia berinteraksi langsung dengan hutan dan 70% masyarakat desa menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.

Laki-laki yang akrab disapa Teguh ini sering melakukan patroli ke hutan Muria, banyak sekali tumbuhan endemik Muria yang perlu dijaga kelestariannya agar tidak punah, seperti pohon Mranak, Anggrek Muria, Parijotho, Pohon Jenggot (sebutan masyarakat pada pohon berambut yang selalu mengeluarkan air), serta pohon-pohon lain yang sudah jarang ditemui. Hutan Muria juga menjadi tempat berlindung berbagai macam satwa, mulai dari harimau, macan Muria, lutung, elang, burung kepodang, cicak Muria dan sebagainya.

Kondisi alam Muria saat ini sudah tidak seperti dulu lagi. Adanya perubahan fungsi hutan sebagai lahan perkebunan, oknum yang tidak bertanggung jawab menyebabkan kerusakan hutan, dan eksploitasi sumber daya alam dan mata air menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi keasrian dan keseimbangan hutan Muria.

Untuk mengembalikan fungsi hutan sebagaimana mestinya, Kelompok berupaya melakukan kegiatan Konservasi Alam Muria. Dengan bantuan YKAN, Djarum Foundation, dan masyarakat lokal, PMPH berusaha menyadarkan betapa pentingnya menjaga alam dan melakukan upaya konservasi di kawasan Muria.

“Tujuan konservasi tak lain adalah untuk menjaga mata air Muria agar tetap hidup, jika masih banyak ditemui pohon besar tentu mata air tetap terjaga, buktinya masih ada pohon jenggot yang selalu mengeluarkan air meskipun musim kemarau,” ujar Teguh saat ditemui Paradigma, Minggu (29/08/2021).

Baru-baru ini, konservasi alam Muria di Desa Colo tengah difokuskan pada lahan kebun milik warga, sedangkan lahan milik Perhutani sudah tidak dapat dikonservasi. Ada sekitar 24 hektar lahan milik warga yang menjadi bagian dari upaya konservasi ini. Dengan difasilitasi oleh YKAN, masyarakat petani mendapatkan sosialisasi sebelum masa tanam. Masa tanam pertama selama 3 tahun akan dilakukan tinjauan oleh PMPH untuk memastikan tanaman tetap hidup setelah tanam.

“Ada sosialisasi dulu kepada masyarakat, dan dilakukan monitoring secara rutin. Semua sudah difasilitasi oleh YKAN, mulai dari sosialisasi, pemetaan lahan, upah PMPH. Untuk bibitnya ada sumbangan dari Djarum Foundation,” terang Teguh di ruang tamu sekaligus sanggar batik miliknya.

Di sisi lain pemerintah setempat mendukung upaya konservassi yang dilakukan PMPH. Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Pranyoto Shofil Fuad (42), menyatakan bahwa upaya konservasi ini melibatkan langsung masyarakat, Gapoktan, PMPH dan difasilitasi oleh YKAN. Proses sosialisasi dilakukan sebelum pendataan, kemudian didata sesuai permintaan petani, setelah menerima bibit masih terus dipantau perkembangannya oleh koordinator petani yang juga anggota PMPH. 

PMPH akan mengarahkan dan membantu mencari solusi setiap permasalahan yang dialami oleh petani. “Laporan dilakukan setiap sebulan sekali ke YKAN, terkait perkembangan tanaman yang telah ditanam,” terangnya saat ditemui di balai Desa Colo, Kamis (02/09/2021).

Dalam upaya konservasi ini, akan dilakukan analisis studi kelayakan apakah lahan yang diusulkan berpotensi untuk direhabilitasi atau tidak. Menurut Shofil, selama lahan masih mampu untuk ditanami, maka petani akan diberikan bibit untuk ditanam. 

Jumlah bibit yang diberikan akan disesuaikan dengan permintaan petani yang tentunya dengan jarak penanaman yang ideal. Bibit yang dipilih untuk lahan kebun adalah tanaman buah yang cukup sekali tanam dapat dimanfaatkan seterusnya. Sementara area persawahan (tegalan) akan ditanami palawija.

“Kita lebih utamakan tanaman buah, cukup sekali tanam tapi hasilnya dapat dinikmati berkali-kali,” kata Shofil yang juga anggota PMPH generasi ketiga.

Mengkonfirmasi salah satu pemilik lahan asal Desa Colo, Purbo Wiyanto (55), mendukung adanya upaya konservasi ini. Untuk mengisi lahannya, ia meminta bibit alpukat sebanyak 15 pohon, bibit jeruk bali 10 pohon dan kopi 400 batang. Purbo mengaku mendapatkan bibit dari PT. Djarum dan mulai ditanam pada tahun 2020 di lahan seluas 2000 m2 miliknya.

Menjadi seorang petani selama lebih dari 35 tahun, ia tentu merasa terbantu dengan adanya program konservasi ini, meskipun untuk perawatannya ia harus menggunakan dana pribadinya sendiri.“Karena bibit ini pemberian, jadi sebisa mungkin kita rawat tanaman itu dengan baik, toh hasilnya sepenuhnya akan menjadi milik kita,” ungkap Purbo di kediaman rumahnya, Kamis (09/09/2021).

Dalam perkembangannya, rupanya bibit yang ditanam Purbo banyak yang tumbuh bagus, hanya 1 bibit alpukat dan 1 bibit jeruk yang mati. Meskipun sedikit kecewa dengan kualitas bibit yang didapat, ia tetap merasa senang. Kedepan, Purbo berharap program ini dapat berjalan sesuai rencana awal.

“Semoga bantuan pupuk dan obat segera turun, semua memang untuk kesejahteraan masyarakat, jadi apa yang dikatakan dulu semoga dapat terealisasikan sehingga masyarakat dapat sejahtera dan makmur dengan hasil yang ditanam” harap salah satu anggota Gapoktan itu.

Ubah Laku

Pada dasarnya manusia akan terus berinteraksi dengan alam, manusia membutuhkan sumber daya alam untuk melangsungkan hidupnya, begitupun alam membutuhkan manusia untuk merawat dan menjaga agar terus lestari. Seperti halnya di Muria, adanya sikap saling ketergantungan antara masyarakat dengan alam menjadikan panorama sendiri yang tidak dimiliki masyarakat di wilayah lainnya.

Desa Colo misalnya, masyarakat memanfaatkan jangklong, entik, singkong, kerut dan tanaman lainnya untuk dikonsumsi dan dijual di berbagai tempat wisata, ada pula tanaman hias seperti anggrek atau tanaman yang kaya akan mitos uniknya yaitu parijotho dan pakis aji yang tak kalah nilai jualnya, tentunya hal itu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Namun, pemanfaatan potensi alam Muria tersebut belum dilakukan secara maksimal. Direktur MRC (Muria Research Center) Indonesia, Mochamad Widjanarko, mengatakan masyarakat lokal Muria masih memanfaatkan secara terbatas, meskipun telah ada beberapa masyarakat yang mulai berinovasi seperti mengolah parijotho menjadi sirup dan beberapa petani kopi di Kawasan Muria yang kemudian mengolah menjadi kopi bubuk dan dikemas dengan menarik. 

Hal ini disebabkan pemerintah setempat belum melakukan identifikasi potensi desa pinggir hutan Muria. Selain itu, masih sedikit teknologi tepat guna, belum ada terobosan baru untuk mengolah entik, jangklong, kerut menjadi lebih menarik dan memiliki daya jual tinggi.

“Entik, jangklong, kerut hanya direbus lalu dijual, masyarakat perlu berinovasi agar dapat meningkatkan perekonomiannya” ujar laki-laki yang kerap disapa Pak Wid itu.

Menurut Widjanarko, upaya konservasi dan peningkatan potensi ekonomi masyarakat Muria dapat berjalan beriringan. Tentunya dengan adanya kerjasama berbagai pihak, mulai dari masyarakat setempat, jajaran birokrasi desa, yaitu pemerintah Desa Colo dan tokoh masyarakat desa yang berada di pinggir hutan Muria. Individu juga harus berperan aktif melaksanakan upaya proteksi terhadap kawasan yang berpotensi untuk rusak dan melindungi kawasan yang belum rusak.

“Beberapa masyarakat di wilayah sekitar Muria sudah mulai tergerak melakukan upaya konservasi lingkungan seperti PMPH di Desa Colo, Kudus dan kelompok pemuda di dukuh Duplak, Desa Tempur, Jepara dengan menata wisata alam di daerah Bejagan,” ungkap pria kelahiran Kudus tersebut.

Dalam wawancara di salah satu  depan Universitas Muria Kudus itu, Widjanarko juga mengungkapkan, masyarakat yang tinggal di pinggir hutan Muria memiliki kelekatan psikologis dalam menjaga kelestarian hutan. Penyebabnya karena masyarakat setempat yang memiliki hubungan langsung dengan alam.

Kedekatan masyarakat dengan alam dapat dilihat ketika ada bencana alam seperti banjir bandang atau tanah longsor. Warga setempat lah yang pertama kali terdampak. Sehingga pentingnya membangun kesadaran bagi mereka untuk bersama-sama melindungi dan melestarikan hutan. Lebih-lebih, adanya dorongan dari kebijakan desa dan pemerintah daerah dapat membangun masyarakat yang lebih maju dan berkelanjutan.

Penulis: Redaksi LPM Paradigma 2021

*)Telah terbit pada Majalah LPM Paradigma Edisi ke-36


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Upaya Konservasi, Menghidupkan Kembali Potensi Muria yang Mati Suri

Trending Now