Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger Templates

Menelusuri Jejak Manuskrip Kuno di Rumah Sederhana Mbah Satawi, di Klumpit, Gebog, Kudus.

parist  id
Jumat, Mei 23, 2025 | 14:21 WIB

 

Potret Manuskrip Kuno di Rumah Mbah Satawi


Kudus, PARIST.ID - Di sebuah rumah sederhana di Desa Klumpit, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, tersimpan warisan ilmu yang telah melewati lebih dari satu abad. Rumah ini milik almarhum Mbah Satawi, tokoh alim kampung yang wafat pada tahun 1983. Di balik tembok rumah yang bersahaja itu, terdapat jejak panjang peradaban tulis Islam yang masih hidup melalui manuskrip-manuskrip kuno yang dijaga penuh kehati-hatian oleh keluarganya.

Mushaf Kuno di Lemari Kaca

Di ruang utama rumah itu, berdiri sebuah lemari kaca tua. Di balik kaca yang sedikit buram karena usia, tertata manuskrip-manuskrip klasik keislaman. Kitab tauhid, fiqih, faraid, nahwu, dan sharaf—semuanya masih utuh, meski telah berumur puluhan hingga ratusan tahun. Di antara koleksi itu, satu naskah paling menonjol: mushaf Al-Qur’an tulisan tangan yang menjadi pusat perhatian.

Mushaf ini memiliki ukuran besar: 35 x 49 cm dalam posisi terbuka, dan tebal sekitar 8 cm saat bersampul. Ia ditulis menggunakan khat Naskhi, dengan tinta hitam pekat untuk ayat utama dan tinta hitam tipis untuk harakat. Tanda awal surah ditandai tinta merah, dan terdapat hiasan bunga serta pola geometris di awal surah-surah penting seperti Al-Fatihah, Al-Baqarah, Al-Kahfi, Al-Falaq, dan An-Naas. Ini adalah ciri khas mushaf Nusantara dari akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Yang menarik, mushaf ini belum menggunakan sistem tanda baca waqaf. Ayat hanya diberi penanda sederhana: titik kecil atau garis merah. Penulisan basmalah dilakukan di setiap awal surah, kecuali At-Taubah. Tak ada transliterasi Latin ataupun tafsir; seluruh teks ditulis dalam huruf Arab penuh—tanda bahwa pembacanya saat itu memang menguasai bahasa sumber.

        

Kursi Panjang dan Tradisi Membaca

Wawancara dengan Bapak Miftahul Khair, generasi keempat dari keluarga Mbah Satawi, membuka cerita yang lebih personal. Ia menceritakan bahwa Mbah Satawi memiliki kebiasaan membaca mushaf tersebut di kursi panjang kayu dekat pintu rumah. Bukan di ruang khusus atau mimbar megah, tetapi di tempat sederhana, tempat di mana cahaya pagi menyelinap dan suara ayam kampung menjadi latar.

“Setiap pagi atau sore, Mbah duduk di situ, di kursi panjang dekat pintu. Mushaf itu yang beliau baca. Umur beliau panjang dan tidak pikun” kenang Pak Miftahul.

Kisah ini memperlihatkan bahwa manuskrip bukan hanya objek sejarah, tapi juga bagian dari laku hidup. Mushaf itu bukan hanya dibaca, tetapi dihidupi—menjadi bagian dari rutinitas spiritual yang menyatu dengan ritme desa.

 

Dari Padurenan ke Klumpit

Manuskrip ini diyakini berasal dari guru Mbah Satawi, seorang tokoh bernama Mbak Maslani dari Padurenan. Informasi ini membuka sebuah fakta penting: bahwa penyebaran ilmu keislaman di Jawa Tengah pada masa lalu berlangsung dalam jejaring antarindividu—guru dan murid, keluarga dan tetangga, desa ke desa.

Perpindahan manuskrip dari guru ke murid bukan hanya perpindahan fisik. Ia adalah perpindahan tanggung jawab, amanah keilmuan, dan semangat untuk meneruskan bacaan. Ini sesuai dengan temuan sejarawan Azyumardi Azra yang menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara berlangsung secara aktif melalui jaringan ulama dan budaya tulis, bukan hanya lewat dakwah lisan.

Naskah-naskah seperti ini menjadi bagian dari sistem pendidikan yang bersifat informal, tetapi sangat dalam dan konsisten. Mereka tidak menunggu institusi formal atau kurikulum pemerintah. Ilmu bergerak lewat mushaf, kitab, dan interaksi guru-murid yang berlangsung di beranda, surau kecil, atau bahkan di kursi kayu panjang seperti milik Mbah Satawi.

Kondisi Fisik Mushaf

Kondisi fisik mushaf memang menunjukkan usia—ada bagian sampul yang sedikit robek, dan halaman yang mulai menguning. Namun keseluruhannya tetap terbaca, utuh, dan yang paling penting: terjaga dan dihormati. Naskah-naskah itu tetap berada di lemari kaca yang sama, di rumah keluarga yang sama, dan dalam kesadaran akan nilainya sebagai warisan tak ternilai. Kesadaran ini menjadikan rumah mereka bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga ruang warisan budaya yang hidup.

 

Warisan Spiritual di Balik Rumah Sederhana

Mushaf dan manuskrip lainnya di rumah Mbah Satawi mencerminkan karakter budaya Islam di Nusantara yang khas: tidak terlalu megah, tapi bernilai dan mendalam. Tradisi keilmuan yang tidak berpusat pada lembaga besar, tetapi bertahan di ruang-ruang kecil yang dijaga oleh hati yang penuh hormat.

Dalam konteks ini, Klumpit, Gebog, bukan hanya titik geografis di Kudus. Ia menjadi titik dalam jaringan sejarah panjang Islam di Jawa. Dari tinta hitam pekat yang menorehkan ayat-ayat suci, hingga halaman kosong yang menunggu generasi baru untuk menuliskannya kembali—semua berbicara tentang ilmu yang tak padam, iman yang terus diwariskan.

 

 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menelusuri Jejak Manuskrip Kuno di Rumah Sederhana Mbah Satawi, di Klumpit, Gebog, Kudus.

Trending Now