Best Viral Premium Blogger Templates

Egosentrisme dan Upaya Mendokumentasi Sejarah

parist  id
Rabu, Februari 13, 2019 | 14:28 WIB
Oleh: Aang Riana Dewi *

EGOSENTRISME dalam menulis sejarah tanpa metodologi penelitian dan uji data ilmiah yang tepat akan menghasilkan data yang batilApalagi menulis sejarah instansi lain dan bukan menjadi aktor di dalamnya, seharusnya sikap telaten harus  diperhatikan karena ketika ada data sejarah luput ditulis akan menimbulkan silang pendapat yang berujung pada pertikaian.

Buku ini lahir untuk mengklarifikasi sejarah almamater penulis yang salah ditulis oleh orang lain yang miskin data sehingga outputnya pun sangat jauh dengan realita sejarahnyaMenulis, dengan hanya bermodalkan perkiraan tanpa diselingi usaha untuk mengkaji data dari berbagai sumber merupakan sebuah kealpaanapalagi menulis sejarah instansi lain adalah hal yang rentan menjadi titik awal lahirnya suatu perkaraSeperti yang dilakukan oleh penulis buku Satu Abad Qudsiyyah (SAQ) yang melenceng menulis sejarah almamater penulis Madrasah Tasywiquth-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan Mahaguru Sepuh KH. Ma’mun Ahmad Kudus yang disinggung, ditulis sambil lalu sehingga salah memuat data. (hlm. 4)
Dari judulnya saja pembaca sudah diberikan indikasi ihwal yang dibahas oleh buku setebal 154 halaman ini yaitu sebuah resensi kritis yang ditujukan kepada penulis buku SAQ yang melakukan beberapa kesalahan dalam penulisan sejarah almamater penulis. Buku ini ditulis hanya untuk langkah awal saja untuk mengklarifikasi data sejarah almamater yang serabutan ditulis tokoh lain. Sementara untuk sejarah lengkapnya akan ditindaklanjuti dengan usaha konkret berupa penggalian data sejarah lebih intensif untuk merangkum segenap data sejarah TBS agar tidak “kepaten obor”  dan validitasnya reliabel sehingga menihilkan usaha orang lain untuk menyebar data sejarah TBS yang keliru.
Data miring yang disandangkan penulis SAQ kepada TBS tentang kompromi dengan Belanda jelas salah. Menilik fakta sejarah dalam buku ini, bahwa saat Ordonnantie Wildeschollen lanjutan diterapkan, Madrasah Tasjwiqoeththoellab (TB) yang sudah berdiri selama empat tahun. Untuk menghindari ordonasi yang tidak adil itulah pada tahun 1934 TB kemudian ditambah dengan kalimat ‘school’ (Bahasa Inggris). Kata madrasah juga diganti dengan ‘pergoroean’ (dari Bahasa Indonesia di-Indonesia-kan), sehingga menjadi Pergoroean Tasjwiqoeththoellab School (TBS) Koedoes. Pergantian TB ke TBS tahun 1934 justru bagian dari jihad melawan ketidakadilan Belanda yang mengeluarkan kebijakan ordonasi diskriminatif. Peralihan nama adalah perlawanan strategis dan kreatif KH. Abdul Jalil Hamid yang saat itu posisinya sebagai Guru Kepala (Pengurus) TBS. (hlm. 46)
Berkaitan peralihan school ke Salafiyyah yang sekarang dikenal berawal mula dari usulan KH. Ma’mun Ahmad dengan kata Sunniyah/Sunni sesuai dengan visi besar TBS yang sejalan dengan Ahlussunnah Waljama’ah. Kemudian setelah disowankan kepada KH. Turaichan Tajussyarof kata Sunniyah dan Salafiyyah artinya sama-sama positif, tetapi kata salafiyyah yang akhirnya digunakan sesuai nadzam: fatabi’is shaliha mimman salafa, wa jannibil bid’ata mimman khalafa-wakulluhu khairin fit tiba’I man salaf, wakullu syarrin fib tida’i man khalaf (hlm. 58). Untuk akronim TBS (Tasywiquth-ThullaB Salafiyyah) yang dikenal sampai sekarang disamakan dengan tradisi penomoran dokar di Kudus waktu itu yang menggunakan singkatan KS (KuduS).
Sampai sejauh ini penulis berhasil mencapai tujuannya untuk membantah pendapat penulis SAQ tentang TBS yang kompromi dengan Belanda dengan sajian data yang lengkap. Selanjutnya, penulis membahas tentang siapa sosok pendiri Madrasah TBS. Namun hingga akhir bab Membedah Sejarah Berdirinya TBS penulis tetap belum bisa mengukuhkan sesiapa pendiri TBS; antara Mbah KH. Ahmad dan KH. Nur Chudrin karena artefak dan bukti masih minim untuk menentukan benang merah versi sejarah nama pendiri TBS yang berdiri itu. (hlm. 70) Tetapi meski begitu penulis mampu menuliskan dengan detail kapan TBS itu berdiri, siapa aktor penting yang menjadi bagian berdirinya TBS dan siapa yang menjadi pengajar pertama di TBS itu yang kesemuanya penting sekali dalam bagian bab ini.
Dengan bahasa yang menohok  dan pemilihan diksi yang tepat, penulis mampu membuat emosi pembaca bergolak hingga membuat pembaca tak sadar bahwa telah sampai pada bab akhir buku ini; Mereka Menggugat KH. Ma’mun Ahmad. Pada bagian ini penulis kembali berhasil mendedahkan data lengkap dengan narasi bahasa yang baik  menjelaskan siapa sesungguhnya Mahaguru sepuh KH. Ma’mun Ahmad dengan apik sepanjang 35 halaman sehingga pembaca pun akan dibuat menganggukkan kepala tanpa sadar sebagai tanda mengerti sekaligus kagum dengan sosok yang diulas dalam bab akhir tersebut.
Menulis tentang sejarah instansi lain adalah hal yang rentan menimbulkan perselisihan jika tidak cermat dalam mengulik data sejarah. Apalagi sampai dibukukan dan beredar ke tangan pembaca dengan tingkat pemahaman dan penafsiran yang berbeda membuat proses klarifikasi data dibutuhkan usaha ekstra.
Dengan data sejarah yang disajikan apik  dan fokus buku ini berhasil mencapai tujuannya sebagai langkah awal untuk melakukan klarifikasi data sejarah yang telah melenceng ditulis orang lain. Dan sebagai pelengkap, penulis juga menambahkan poin pendukung yaitu pada bab Peladjaran Tinggi Pergororean TBS. Akhirnya, lahirnya buku ini sebagai pelajaran untuk siapa saja bahwa segala hal memang butuh pertanggungjawaban dan harus siap dengan resiko apapun yang timbul sebagai dampak apa yang kita lakukan.


*Penulis merupakan Mahasiswi semester 4 IAIN Kudus dan bergiat di Paradigma Institut
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Egosentrisme dan Upaya Mendokumentasi Sejarah

Trending Now