Best Viral Premium Blogger Templates

Quo Vadis Sastra Milenial

parist  id
Minggu, Mei 09, 2021 | 17:19 WIB

 

Foto: mojokstore.com

Identitas Buku

Judul : Kaki Kata

Penulis : Nirwan Dewanto

Penyunting : Alpha Hambally dan Heru Joni Putra

Penerbit : Teroka Press

Cetakan pertama, Juli 2020

Tebal : xiv+254 halaman, 13.5x20.5cm

Peresensi : Nila Sinta Fitriyani (*)


Zaman millenial tidak sulit menjadi penyair, bahkan hanya dengan menulis satu puisi cinta di sosial media, terlebih menjadikannya musikalisasi puisi, maka sudah bisa dianggap sebagai penyair oleh kalangan remaja pada khususnya. Terlepas dari kualitas karya yang dihasilkan.

Dengan cara mengetik kata “Puisi” di kolom search Instagram, kita akan disuguhi puluhan akun Instagram yang mengunggah postingan berupa puisi, dan bahkan dua dari sekian akun teratas (@kumpulan-puisi dan @puisidisenja), yang mempunyai tiga ratus ribu pengikut tersebut, 99% dipenuhi dengan tema cinta dalam makna yang dangkal.

Ada banyak postingan yang tidak mengikuti aturan ejaan, seperti tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Lalu masih ada kesalahan pengetikan yang tidak dikoreksi lagi. Padahal jumlah like di postingan tersebut rata-rata mencapai 2000 hingga 4000 like. Sungguh sangat disayangkan, dan jelas mampu memengaruhi pola pikir remaja bahwa puisi hanyalah teks-teks tak berdaya yang mengelabui pembaca tentang realitas cinta yang sesungguhnya.

Selanjutnya, kita coba bandingkan untuk mengetik kata kunci “Puisi lama”, lalu “sastra klasik”, yang mengarah ke sastra generasi lama. Ternyata sangat jarang, dan kalau pun ada, tentu jumlah pengikutnya tidak sebanding dengan akun-akun populer yang sudah disebutkan di atas. Padahal dari segi kualitas, jelas sastra klasik menduduki posisi pertama, bahkan jarak di antara keduanya terbentang jauh. 

Puisi lama tidak sesimple dan semudah itu bisa dipahami khalayak, tetapi mempunyai daya puitis yang tinggi, sehingga membutuhkan perenungan mendalam. Tidak bisa dipahami dengan sekali baca. Itu sebabnya bisa ternilai begitu berharga dan istimewa. Berbeda dengan karya milenial, yang cenderung mudah dipahami, bahkan dengan memicingkan mata. Sangat tidak berkelas, bagaikan seorang raja yang kehilangan mahkotanya.

Tiga Mitos Sastra

Seno Gumira Ajidarma memaparkan tiga mitos sastra yang menjadi penghubung antara metafora “Raja yang kehilangan mahkotanya”, pertama sastra itu curhat, kedua bahasa sastrawan itu mendayu-dayu, rumit dan asing di telinga, lalu yang ketiga sastra berisi pedoman hidup, petuah-petuah dan nasihat-nasihat. 

Mitos terakhir sangat relevan dengan apa yang pernah Joko Pinurbo beberkan saat menjadi narasumber di webinar yang diselenggarakan oleh Arcana Foundation, bahwa sastra bukan ruang untuk eksis sebagai “penunjuk” hidup orang lain. Jika puisi terbaca sebagai kalimat sok bijak, maka jati dirinya bisa dikatakan direnggut secara paksa. Tetapi kenyataannya, banyak yang menjadikan puisi senagai “penunjuk” hidup sesama manusia. 

Pertanyaannya, mengapa aliran sastra milenial sangat jauh berbeda dari era sebelumnya? Pertama, mari kita coba analisis sekilas karakteristik aliran sastra dari masa ke masa. Mulai dari masa Pujangga Lama hingga Pujangga Baru, karakteristik sastra lebih banyak berisi nasihat dan petuah, sebab pada masa itu, akses pengetahuan terbatas pada tradisi dan budaya. Selain itu, distribusi media sastra juga sangat terbatas, sehingga kebanyakan masih berupa budaya tutur. Di era ini, ada juga beberapa karya sastra yang berisi kritik budaya, terutama budaya patriarki yang didominasi pria atas wanita, maka lahirlah hikayat Siti Nurbaya, Hikayat Siti Mariyah dan lain sebagainya.

Tantangan Penyair Era 45

Berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh penyair angkatan 45 hingga angkatan reformasi. Sastra menjadi bentuk lain dari perlawanan atas penindasan. Distribusi sastra yang lebih merata, serta kesadaran atas pengetahuan yang mulai tumbuh, mengubah arah aliran sastra Indonesia. Ditambah lagi, kondisi sosial masyarakat Indonesia dalam keadaan tertindih (oleh penjajah, Orde Lama, dan Orde Baru), maka semakin berkobar perlawanan melalui media sastra termasuk puisi, di antaranya yaitu penyair W.S Rendra, Chairil Anwar, Wiji Thukul, dan sastrawan seangkatan, sangat sarat dengan kritik terhadap penguasa. Contohnya yaitu puisi karya Chairil Anwar berjudul “Peringatan”, sangat gamblang mengkritik pemerintah di zaman tersebut. 

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan.

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!

Puisi Chairil Anwar tersebut memang sangat berani sebagai kritik terhadap pemerintahan. Chairil jelas mengakhiri puisinya dengan kata “lawan”, sebagai ancang-ancang untuk segera berlari menuju musuh atau penguasa yang lalai dengan mengangkat senjata. 

Tidak berhenti sampai di situ, Chairil Anwar, sebelum dinobatkan sebagai penyair sungguhan, ia pernah mengalami penolakan ketika mengirimkan puisinya di majalah Pandji Pustaka karena dianggap sangat individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya. 

Tidak hanya itu, karyanya juga pernah beredar hanya di atas kertas murah dan tidak diterbitkan pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia sampai tahun 1945. Sungguh miris, padahal ia termasuk penyair legendaris tetapi masa kepenyairannya tidak berjalan dengan mulus. Menjadi sastrawan memang berat, berbeda dengan menjadi “Sastrawan Dagangan” di era cybersastra.

Mereka hidup di zaman yang sudah jauh lebih sejahtera secara ekonomi, akses teknologi, dan stabilitas politik. Terlebih gelar “sastrawan” yang bahkan bisa dibeli di website khusus agar orang tersebut memperoleh gelar sastrawan secara mendadak dan instan. Ada sekitar tiga web yang menyediakan layanan tersebut meskipun baru tersedia dalam bahasa Inggris, yaitu Poem Generator, 3 Lines 3 People, dan Pexels.com.

Tiga website tersebut sangat mengagumkan, karena bisa menempuh jalan sebagai penyair secara instan. Maka pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah bagaimana jika kita kehilangan para penyair yang bermutu, entah karena kematian atau karena terlupakan, lalu kita memutuskan untuk beralih ke penyair instan. Apakah akan menimbulkan permasalahan sastra yang serius di masa yang akan datang?

Kematian Penyair

Nirwan Dewanto di esai berjudul Geografi halaman 71, mengulik pertanyaan-pertanyaan yang timbul jika sang penyair mati? Apakah karyanya akan tetap hidup? Kaki para sastrawan yang telah melalui perjalanan panjang memang bisa lumpuh, tidak akan bisa bergerak kembali ketika mereka sudah mati. Tetapi jangan lupakan satu hal bahwa kata-kata dari setiap karyanya memiliki kaki-kaki yang terus berjalan menelusuri kilas balik perjuangan. Menghampiri setiap kepala, meracuni setiap mulut, dan menggerakkan ribuan tangan untuk selalu mengabadikan karya itu. Begitulah, di tangan seorang sastrawan sejati yang telah menempuh perjuangan panjang, setiap kata memiliki kaki. 

Sastrawan era lama bagaikan air di aliran sungai, mengalir dari hulu ke hilir. Menghantam batu, terkotori kotoran manusia, memutih dan berbusa karena sabun, bahkan mematikan jiwa mahluk hidup. Tapi aliran sungai akun selalu bermuara ke samudera luas. Begitu pula dengan sastrawan era lama, mencapai samudera pengetahuan tak terbatas setelah melalui beragam rintangan.

Sementara sastrawan era milenial, bagaikan telaga. Airnya turun dari langit. Statis, terjebak dalam satu kubangan. Situasinya sangat damai, tidak ada gejolak, sehingga kreativitas menjadi tidak mengalir. Mereka hanya bergerak di dua arah. Bergerak ke atas, menguap menjadi awan. Kemudian turun kembali ke telaga menjadi hujan. Sebagian memilih untuk tidak kembali ke telaga, sebagian memilih untuk turun di tanah. Hilang, terserap ke dalam tanah, menyerah bersama karya-karyanya.

(*) Penulis adalah kolektor buku yang sedang menempuh studi di Tadris Bahasa Arab IAIN Kudus

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Quo Vadis Sastra Milenial

Trending Now