Best Viral Premium Blogger Templates

Sisi Lain Bad News is Good News: Tidak Semua Hal Buruk Perlu Dikabarkan

parist  id
Kamis, Maret 09, 2023 | 10:44 WIB



Oleh: Hasyim Asnawi*

Belakangan ini, saya sering menemui cukup banyak berita-berita atau informasi yang tidak menambah semangat orang lain, tetapi justru menurunkan semangat dan membuat sedih. Bad news is good news, begitu katanya. Sepertinya istilah ini sudah menjadi ‘dewa’ bagi rata-rata wartawan untuk mendulang informasi sebagai bahan berita.

Menulis berita memang harus berdasarkan fakta atau kejadian nyata di lapangan. Entah itu kabar baik, kesenangan, gembira hingga hal-hal pahit dalam hidup tak luput dari pemberitaan. Apalagi, memang akhir-akhir ini kejadian yang kita sebut sebagai ‘bencana’, ‘tragedi’, ‘musibah’ masih banyak kita temui menimpa seseorang.

Hujan dengan intensitas tinggi di banyak daerah yang menyebabkan banjir, tanah longsor, manusia tenggelam, kemacetan, atau musibah seperti kecelakaan, kebakaran, dan sebagainya selalu diromantisasi oleh wartawan demi menunjang page view dan kunjungan pembaca. Saya tak mengatakan berita seperti ini salah. Media sebagai pemyambung lidah masyarakat memang sudah sepatutnya memberitakan atau mengabarkan informasi dan kejadian di sekitarnya. Namun, jika kita mau mengamatinya lebih dalam, bukankah berita-berita semacam itu terlalu massif dan memenuhi beranda kita?

Bukan Sekadar Fakta

Fungsi media seharusnya tak hanya sekadar sebagai perantara sebuah fakta kepada publik. Media, menurut hemat saya seharusnya juga berperan dalam menciptakan ruang publik dan wacana yang positif bagi khalayak banyak. Satu hal penting yang masih lekat di ingatan saya ketika berbincang dengan salah satu wartawan senior, peran media yang tak boleh ditinggalkan adalah bagaimana ia (media, red) mampu membawa dan menggiring masyarakat agar tidak terus-terusan dibuat khawatir, cemas, sedih, kecewa, putus asa dan hal-hal negatif lainnya. Media juga harus memberitakan hal-hal positif dan kabar baik kepada masyarakat.

Menyampaikan berita berdasarkan fakta sudah barang tentu penting diperhatikan oleh setiap jurnalis. Namun, hal yang tak boleh dilupakan oleh jurnalis adalah keberpihakannya. Lantas dimana keberpihakan seorang wartawan atau media jika framing yang dibuat lebih banyak -untuk tidak menyebutnya selalu- menampilkan hal-hal negatif dibandingkan hal yang positif. Di sinilah kepekaan dan nurani seorang wartawan diuji.

Ibarat pisau bermata dua, wartawan harus pandai-pandai memilih informasi untuk  ditulis sebagai berita. Apakah wartawan akan menulis apa saja yang menjadi keinginan pasar, tentu ini akan membantu menaikkan jumlah kunjungan dan profit media. Atau seorang wartawan lebih memilih untuk memberitakan berita positif meskipun tidak sesuai dengan ramainya pasar. Ataukah ia akan menciptakan pasarnya sendiri untuk pembaca, kecil kemungkinannya, namun bukan berarti tidak mungkin. Pastinya, pilihan ini kembali ke hak prerogratif masing-masing wartawan dan medianya.

Mari kita ambil contoh. Banjir misalnya. Apa yang terjadi ketika semua media selalu memberitakan kejadian tersebut selama berhari-hari. Bagaimana perasaan masyarakat yang menimpa musibah itu secara langsung.  Rumahnya terendam banjir,, anak-anak tidak bisa bersekolah, petani yang merugi ratusan juta, kebutuhan pokok tak tercukupi, dan sebagainya. Jika ditambah dengan pemberitaan dengan nuansa yang sedih dan berlebihan, bisa-bisa mereka akan tambah putus asa, dan sulit lepas dari keterpurukan itu. Kekhawatiran akan selalu menghantui mereka. Dalam teori connecting, Edward L. Thorndlike menyebutkan bahwa rasa itu sesungguhnya akan memengaruhi secara langsung dan tidak langsung pada diri dan orang sekitarnya.  

Etika Jurnalistik

Di sinilah etika jurnalistik diperlukan. Amir Machmud NS dalam bukunya yang berjudul ‘estetika jurnalistik’ itu menekankan bahwa etika menjadi roh yang ditiupkan oleh “kebenaran”. Etika menjadi pertimbangan dalam memilih dan memutuskan manakala seorang wartawan mengikuti rangkaian proses berjurnalistik dan bermedia.

Artinya, seorang wartawan harus peka dan mempertimbangkan mana yang penting untuk diberitakan dan mana yang lebih baik tidak diberitakan. Pertimbangan ini tentu berhubungan dengan hati nurani seorang wartawan, kepekaannya, dan nalarnya dalam menerka dampak baik buruk kedepannya dari berita yang ia tulis. Etika ini akan menandakan sejauh mana suara hati seorang jurnalis berpihak dan bertanggung jawab.

Oleh karena itu, jurnalisme positif dan etika jurnalistik harus mampu dipadupadankan bagi seorang jurnalis. Jurnalisme positif, dengan mengabarkan hal-hal positif, prestasi dan kabar baik tentu bisa mengugah semangat dan membawa kegembiraan kepada masyarakat. Di samping itu, kita juga perlu menjaga keberimbangan pemberitaan kepada publik, kode etik dan nilai-nilai jurnalisme itu sendiri.

Sehingga, iklim media akan terasa lebih sehat dan menimbulkan positive vibes bagi pembaca. Ditambah dengan penyampaian pemberitaan dan narasi peristiwa yang berpilar pada keindahan, maka estetika jurnalistik yang diharapkan lambat laun akan bisa diwujudkan. Semoga.

 

Referensi:

https://timesindonesia.co.id/page/jurnalisme-positif

https://suarabaru.id/2020/05/13/membedah-tarekat-jurnalistik-amir-machmud-ns

pengalaman pribadi

 

*Hasyim Asnawi, Jurnalis Suara Nahdliyin Kudus

Bergiat di komunitas paradigma institute, kampung budaya piji wetan dan aktif menulis di blog pribadinya. Dapat dihubungi melalui Instagram @hasyimasw_ atau email: hasyimasnawi4@gmail.com 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sisi Lain Bad News is Good News: Tidak Semua Hal Buruk Perlu Dikabarkan

Trending Now