Best Viral Premium Blogger Templates

Wejangan Cak Nun di Tengah Murat Marit Zaman Edan

parist  id
Senin, Mei 24, 2021 | 11:21 WIB
Foto: Istimewa


Identitas Buku

Judul buku    : Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem

Penulis          : Emha Ainun Nadjib

Penerbit        : Penerbit Noura Books

Cetakan        : 13, Juli 2020

Tebal            : 230 halaman

ISBN            : 978-602-385-150-8

Layaknya kendaraan bermotor, hidup juga butuh ngegas dan ngerem. “Jangan memasuki suatu sistem atau suatu keadaan yang membuatmu melampiaskan diri. Tapi, dekat-dekatlah dengan sesama sahabat yang membuatmu mengendalikan diri. Karena Islam itu mengendalikan, sementara internet itu melampiaskan. Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem”. (hal 82)

Harmonisasi harus dilakukan antara ngegas dan ngerem. Ngegas artinya hidup yang terobsesi terhadap suatu hal merupakan hal tidak baik, alasannya, tidak dapat dinilai mana benar atau salah.. Ngerem dalam arti menahan nafsu yang mengganggu tubuh, sehingga dalam hidup itu kita harus pintar dalam mengharmonisasikan antara ngegas dan ngerem.

Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun yang aktif dalam dunia syair telah banyak menuangkan gagasannya melalui tulisan. Ia dikenal sebagai penjaga Telaga Al Kautsar oleh Candra Malik, bagai telaga yang senantiasa membasuhi badan ruhani dan melepas dahaga batin. Ia berusaha memperbaiki pribumi Indonesia tanpa harus memimpin. Hampir seluruh Indonesia dikelilingnya bersama dengan grup musik Kiai Kanjeng. Memberikan pengajian, seminar, diskusi, atau workshop di bidang pengembangan sosial, keagamaan, kesenian, dan sebagainya telah digelutinya sejak dahulu.

Memberi adalah hal yang selalu ia lakukan, tak pandang dari kalangan mana si penerima berada, seperti halnya buku “Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem” adalah persembahan dari Cak Nun untuk pembaca. Buku ini adalah keseharian Cak Nun, memberi wejangan kepada siapa saja yang membaca dan menghayati. Berbeda dalam karangan Cak Nun yang berjudul “BH”, dalam buku itu berisi kumpulan cerpen yang sudah termuat sejak 1977-1982 dikompas. Salah satu judul “Ambang” yang menceritakan tentang kisah LGBT antara dua laki-laki yang saling mencintai. Cak Nun memberikan gambaran melalui tulisan “Marilah kita bercinta pada tempatnya. Kau mencintai itu dan bersedia menerima apa yang mampu kuberikan, sementara aku pun mencintai penderitaanmu.”

Melalui dua buku tersebut, Emha Ainun Nadjib selalu memberikan dimensi religi yang dikemasnya dalam kesenian yang setiap pembaca dituntut untuk berpikir perihal apa yang dibaca dan bagaimana kedaan yang sedang terjadi. Dalam karyanya beliau selalu menuangkan dialog-dialog yang  menggelitik dalam memahami agama, sehingga bagi setiap pembaca akan terhibur dan tidak membosankan. Dari hal itu, setiap pembaca akan merasa bahwa belajar agama tidak melulu membahas syari’at dan setiap orang bisa memahami islam sebagai agama yang menyenangkan. 

Buku “Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem” Cak Nun memberikan penjelasan perihal kabar langit dengan bahasa bumi. Kabar langit adalah tentang islam yang harus mentauhidkan Tuhan dan bahasa bumi sebagai cara translite manusia tentang Tuhan agar mudah untuk dipahami. Dengan membaca buku ini, pembaca akan merasa bahwa mengenal Tuhan itu menyenangkan, tidak serumit apa yang dikatakan orang-orang. Tuhan adalah maha pengampun, memberi ruang untuk siapa saja yang ingin bertamu. Memberi taubat bagi siapa yang ingin mencari hidayah, dan memberi nikmat tanpa melihat objek.

Hidup adalah memberi bukan diberi, bagaimana tubuh kita bisa berkontribusi untuk Islam. Cak Nun memberi permisalan dengan puasa dan makan. Puasa adalah memberi dan makan adalah diberi, jika kita tahu nikmat puasa yang luar biasa maka lapar tak akan menjadi malasah. Justru lapar adalah bagian dari memperkuat diri, tetapi jika kelaparan adalah bagian dari penyebab kematian.

Cak Nun juga memberikan pemahaman dalam buku ini, yaitu apa yang kita miliki adalah yang kita berikan. Semua yang kita miliki dan hanya untuk disimpan, maka pada akhirnya akan saling  meninggalkan. Sedangkan yang kita berikan akan abadi dan menjadi milik kita sampai akhirat. Melalui hal itu, Cak Nun ingin menjelaskan bahwa islam adalah agama yang Rahmatan lil A’lamin yaitu memberi rahmat kepada seluruh alam tidak hanya umat.

Mengenal Tuhan dengan cara yang menyenangkan akan menambah rasa kenikmatan, Islam tidak selalu tentang Arab tetapi universalisme islam juga berlaku pada budaya dimana umatnya bertempat. Mengaji dengan lagu Jawa juga boleh dilakukan dan sepertinya Tuhan menyukai jika orang Jawa mengaji dengan lagu Jawa. Ibadah bukan dinilai dari seberapa banyak dan semerdu apa suaranya, tetapi yang dinilai adalah seberapa ikhlas dan bagaimana kesungguhan hati kita dalam mengaji.

Bukan hanya terfokus pada agama, Cak Nun juga memberikan sebuah pemahaman kepada setiap pembaca tentang pendidikan kenegaraan, bagaimana kita harus mengamati, menilai, dan menjalankan Indonesia. Indonesia adalah negeri yang kaya akan alamnya tapi miskin pada manusianya, bukan perihal jumlah penduduknya tetapi perihal kemampuan penduduknya yang jauh tertinggal dari negara-negara lainnya. Bagaimana kita harus bersikap terhadap setiap badai yang selalu menggoncang negara Indonesia. Dan bagaimana kita harus tetap bertahan ditengah morat marit Negeri ini.

Melalui buku ini, Cak Nun mengajak pembaca untuk membudidayakan mikir urip bukan hanya numpang urip yang tidak pernah berpikir perihal kehidupan. Ia mengajak pembaca untuk bangkit dari sikap stagnan menuju ke arah pergerakan, bahwa sekarang bukan waktunya untuk duduk santai tetapi kita harus menjadi manusia yang mau berpikir perihal sekarang dan masa yang akan datang.

Buku ini adalah buku kesekian dari Emha Ainun Nadjib. Dan buku ini cocok dibaca bagi semua kalangan, penulis mampu memberikan nasihat-nasihat kearifan yang terkemas dengan sangat apik dan menarik. Sehingga bagi siapa saja yang membaca, ia tidak hanya memperoleh ketenangan batin tetapi juga pemikiran dan gagasan baru mengenai kehidupan sekarang ini. Sayangnya dalam buku tersebut terdapat istilah-istilah yang masih kurang dimengerti oleh orang awan, dan untuk mengerti apa yang disampaikan oleh Cak Nun pembaca harus membaca berulang kali.

 

Diresensi oleh Dwi Qotrun Nada,

Mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAIN

Kudus

 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Wejangan Cak Nun di Tengah Murat Marit Zaman Edan

Trending Now