Best Viral Premium Blogger Templates

Sambat Pengin Nikah Nggak Akan Menyelesaikan Tugas Kuliahmu

parist  id
Kamis, Desember 23, 2021 | 10:48 WIB
Foto: satupersen.net

Momen tes akhir semester atau UAS sepertinya memang menjadi momok bagi sebagian mahasiswa. Tak jarang saking sulit dan banyaknya tugas yang diberikan dosen memancing mereka untuk sambat dan pansos di laman media sosial.

Kita tentu sering mendapati mereka (mahasiswa) berujar demikian. Misalnya saja "Tugasnya berat banget, pengin nikah aja." atau "Semester 5 gini amat, berat banget sumpah." Bahkan quotes-quotes sambat sejenis yang sering muncul di For You Page (FYP) Tiktok dipakai untuk menunjukkan beratnya tugas yang dikerjakan. Kalau dipikir-pikir, lucu juga ya. Bagaimana mungkin mahasiswa membebankan tugasnya pada hal-hal yang sama sekali tidak bisa memecahkan masalah mereka.  

Analoginya, apakah ketika dia menikah, secara ujug-ujug, mak bedunduk, simsalabim tugas mereka langsung kelar begitu saja? Atau seandainya pun dia beneran menikah, lantas apakah dosen akan berbaik hati dengan membebaskan tugas yang sudah diberikan kepada pasangan tersebut? Kan nggak lucu. Mau nikah atau tidak, selayaknya mahasiswa, seharusnya sudah tahu dong konsekuensi menjadi mahasiswa.

Bahkan keanehan ini saya temui hampir di seluruh tingkatan. Entah itu semester awal yang notabene masa-masa awal menikmati kehidupan kuliah. Atau semester akhir yang menurut mereka tugasnya bejibun banyaknya. Saya heran, apakah mental model seperti ini sudah begitu melekat di kalangan mahasiswa sekarang?

Playing Victim

Sebagai mahasiswa, kita tentunya dituntut untuk berlomba-lomba dalam berkarya dan berprestasi. Dalam hidup, kita juga dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Konsep ini sudah barang tentu sangat awam kita dengar baik di ceramah-ceramah islami ataupun seminar-seminar motivasi. Lantas bagaimana konsepnya jika kita sendiri malah terlalu asyik berlomba-lomba menjadi korban?

Playing victim (bermain korban) sebenarnya adalah konsep lama yang diterapkan Sun Tzu sebagai strategi perang pada tahun 544-496 SM. Makin ke sini, playing victim justru sering dipakai seseorang untuk melempar kesalahannya ke orang lain, atau mencari simpatik dari orang-orang. Bahkan, mereka merasa menjadi korban lingkungan yang toxic dan merasa hidupnya yang paling berat, sehingga menganggap dirinya adalah korban keadaan.

Kita tentu sering menemukan teman yang berlaku demikian. Ketika dicurhati atau bercerita tentang masalah kita, ia justru melempar argumen yang menunjukkan betapa berat masalah hidupnya dibandingkan kita. "Jurusanmu mah gampang, tugasnya cuma gini-gini. Coba di jurusanku, harus ini, buat itu, bla bla", "Tugasmu cuma segitu doang? Lihat nih tugasku banyaknya minta ampun", atau "Gitu doang, kok, sambat, coba kamu jadi aku, pasti gak kuat." Adalah beberapa kalimat template yang sering dipakai mereka untuk menghujat temannya.

Kalimat-kalimat yang dipakai sebagai defense mekanisme untuk melindungi dirinya dan seolah-olah berperan jadi satu-satunya korban. Tanpa sadar, kata yang diucapkan ke temannya itu bahkan menjadi toxic yang bisa saja menyakiti hati temannya.

Memang, sih, tidak mudah menghindari perilaku demikian. Oleh karenanya, mencoba memposisikan diri menjadi orang lain memanglah penting. Mengutip kata-kata dari para motivator kawakan, "Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam saja," sepertinya bisa kita terapkan ketika ngobrol atau bertemu orang lain.

Poin pentingnya, menjadi mahasiswa memang berat dan penuh penderitaan. Namun, jika penderitaan itu cuma dipandang sebagai beban, tentunya kita tidak akan berkembang. Keputusan menjadi mahasiswa sudah kita ambil ketika mendaftar kuliah dulu. Sudah menjadi konsekuensi kita harus menjalani kewajiban sebagai mahasiswa dengan sepenuh hati. Terkadang, penderitaan-penderitaan yang dijalani itulah yang menjadikan proses awal mahasiswa berkembang.

Jika boleh dianalogikan, kuliah itu seperti bersepeda. Bukan seberapa cepat kita sampai pada tujuan akhir, melainkan bagaimana kita menikmati perjalanan dan ingat pada tujuan. Bagaimana kita mengayuh (berproses), menghindari kelokan yang ada (survive), dan mencapai tujuan kita di awal (relasi dan pengalaman). Jadi, tidak perlu memusingkan orang lain yang sudah sampai di garis finish terlebih dahulu. Karena setiap orang punya garis lintasannya masing-masing.

Selamat sambat mengerjakan UAS!!

Hasyim Asnawi

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sambat Pengin Nikah Nggak Akan Menyelesaikan Tugas Kuliahmu

Trending Now